OPINI

Azis Qahhar Mungkin Akan Kalah Lagi?

OPINI – Tampaknya hasrat politik Azis Qahhar Mudzakkar belum redup. Pria yang lebih banyak dikenal sebagai ustad ketimbang politisi itu kembali masuk arena Pilgub Sulsel. Kali ini ia maju sebagai Calon Wakil Gubernur mendampingi Nurdin Halid. Ini yang ketiga kalinya putra Kahar Mudzakkar itu ikut berebut kursi panas Sulsel. Citra Kahar Mudzakkar memang belum redup, hal itu membuatnya menjadi incaran politisi. Basis suara yang jelas menjadi salah satu faktor utama kenapa senator sulsel itu selalu diperebutkan.

Problem Basis Suara Ideologis

Beberapa kali maju sebagai anggota DPD asal sulsel, Azis selalu meraup suara terbanyak dibanding dengan kandidat lain. Perolehan suaranya bahkan menembus angka satu juta. Hingga saat ini belum ada senator asal sulsel yang mampu mendekati popularitasnya. Konsistensi perolehan suara itu dianggap oleh sejumlah politisi dan konsultan politik cukup untuk merebut kekuasaan di Sulsel, ini terlihat bagaimana Ilham Arif Sirajuddin begitu percaya diri memilih Azis sebagai Wakilnya pada Pilkada lalu. Mungkin juga hal serupa yang menjadi pertimbangan Nurdin Halid memilihnya.

Namun Pemilihan Anggota DPD dan Pemilihan Gubernur adalah dua hal yang berbeda. Azis boleh berjaya saat pemilihan DPD tapi tidak untuk pemilihan gubernur. Terbukti, dua kali ikut kontestasi selalu kalah dengan perolehan suara paling sedikit dibanding kandidat lain.

Suasana Pilgub Sulsel memang berbeda. Jika sudah pasti Azis memiliki basis suara ideologis, pasti juga ada basis suara lain yang secara ideologis tidak memilihnya. Dan basis suara ini akan semakin menguat seiring dengan bergulirnya isu-isu selama pesta demokrasi berlangsung.

Dari data KPU Sulsel, basis perolehan suara Azis saat pemilihan DPD dibanding Pemilihan Gubernur menunjukkan statistik yang berbeda. Saat pemilihan DPD, perolehan suara Azis di kabupaten Selayar, Bulukumba, Bone, Luwu, Luwu Utara, Kota Palopo, dan Kota Makassar sangat tinggi. Namun jika Pemilihan Gubernur perolehan suaranya di daerah-daerah itu mengalami penyusutan drastis.

Menurut Pierre Bourdie dalam konsep Habitus, perubahan Arena, Isu, Modal, dan Agen adalah faktor utama berubahnya bangunan disposisi sosial. Habitus menghadirkan situasi krusial bagi kemunculan kategori-kategori, klasifikasi dan sekma-sekma baru yang menjadi bahan yang digunakan publik membuat penilaian terhadap kondisi aktual.

Habitus itu memberikan eksistensi sosial politik untuk Azis. Eksistensi yang bisa menjadi modalitas sekaligus persoalan. Konsekuensi ganda ini mensponsori perubahan figuratif, Bourdie menyebutnya posture (prise de position) saat Azis berkontestasi dalam arena yang berbeda. Dengan kata lain, Azis surplus prise de position saat berkontestasi di DPD tapi mengalami defisit prise de position saat berkontestasi di Pilgub.

Citra Politk Eksklusif

Setelah resmi berpasangan dengan Nurdin Halid, Azis banyak berbicara mengenai Toleransi, Pancasila dan NKRI. Ini tentu strategi komunikasi politik yang perlu dia mainkan mengingat cinta politik yang melekat pada dirinya sangat eksklusif (Baca: KPPSI).

Citra anak Kahar Mudzakkar itu membatasi manufer politiknya sendiri. Citra itu tidak memberinya banyak pilihan. Label Islamis adalah identitas politiknya, Islamis dalam arti yang lebih sempit lagi. (Baca: Hidayatullah).

Eksklusifitas itu akan membuatnya sulit diterima disemua golongan di Sulsel. Pengalaman dua kali ikut Pilgub setidaknya memberi gambaran konsisten bahwa penerimaan masyarakat Sulsel terhadap citra figur religius tak sebaik dengan citra figur nasionalis dan moderat.

Modal Kinerja Minimalis

Selama dua periode menjadi anggota DPD, publik tidak tahu banyak apa yang dilakukan senator peraih suara terbanyak asal sulsel itu. Dalam berbagai forum dan diskusi publik, sangat jarang atau malah tidak pernah kita mendengar Azis mengucapkan pupuk bersubsidi, penanggulangan hama kakao, cara budi daya ikan air tawar, kerusakan hutan, peningkatan upah buruh, pemberian modal untuk peningkatan usaha kecil menengah, dan lain-lain.

Selama ini Azis lebih banyak berbicara tentang tema-tema seputar agama. Pergaulannya juga begitu, dia lebih banyak sibuk mengurus organisasi keagamaan (Baca: KPPSI dan Hidayatullah). Jika diperhatikan kunjungan-kunjungannya kedaerah kita tidak akan mendapatinya meninjau sawah yang gagal panen di Bone, hutan yang rusak parah di Luwu, dan lain-lain.

Memang tugas dan fungsi anggota DPD tidak sedetail itu. Tapi sebagai politisi yang untuk ketiga kalinya mengincar kursi panas Sulsel, mestinya dia terlibat dalam percakapan-percakapan yang menyangkut kebutuhan mendasar masyarakat dan kondisi-kondisi aktual di wilayahnya. Dalam Bahasa Pierre Bourdieu kepekaan terhadap dunia keseharian (ordinary world) yang dialami masyarakat.

Kita ketahui Azis lahir dan tumbuh dalam masyarakat pertanian. Banyak keluarganya petani, dan kebanyakan pemilihnya juga petani. Petani kita sudah terlalu sabar dan istiqomah menanggung resiko gagal panen, perubahan iklim, dan murahnya harga komoditas mereka. Tidak etis lagi mereka dicemahi tentang kesabaran dan keikhlasan.

Modal keterlibatan sosial ini yang sangat minimum pada Azis. Padahal, keterlibatan sosial yang optimal adalah “modal” yang memampukan seseorang mengontrol masa depan politiknya. Modal sosial, kata Pierre Bourdieu memberi orang status dalam masyarakat (social trajectory), modal itu juga bersifat convertible (dikonversi menjadi kekuasaan), singkatnya modal adalah basis dominasi.

Karena Azis yang dulu dengan yang sekarang tidak banyak berubah, situasinya tetap seperti itu. Kemungkinan Azis Qahhar akan kalah lagi.

Oleh: Aswan, Dosen Komunikasi IAIN Palopo

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top