OPINI

Kabinet Kerja, Banyak Bicara

OPINI | Presiden Joko Widodo saat ini sedang membutuhkan situasi politik yang kondusif dan dukungan politik dari berbagai pihak. Segala bentuk kontroversi, gejolak, dan perselisihan politik, karena itu, sedapat mungkin harus dihindari para menteri dan pembantu presiden.

Dalam konteks inilah kemarahan mantan presiden SBY terhadap Menteri ESDM Sudirman Said adalah peristiwa yang patut disayangkan. Sudirman Said, sebagaimana diberitakan media massa, menyatakan, “Rencana pembubaran Petral sebelumnya selalu berhenti di meja presiden.” SBY merasa terpojok oleh pernyataan tersebut, lalu menyampaikan kekesalannya melalui media sosial yang kemudian dikutip banyak media massa.

Tentu ini bukan kemarahan sembarang orang. Ini kemarahan seorang mantan presiden sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat, sebuah partai politik besar yang sikap politiknya sangat mempengaruhi legitimasi pemerintahan Jokowi. Dari sisi komunikasi politik, kemarahan itu jelas dapat memperkeruh hubungan Presiden Jokowi dan SBY serta Partai Demokrat. Meskipun, secara substansi, pernyataan Sudirman Said mungkin ada benarnya.

Sudah sering dikatakan, salah satu problem pemerintahan Jokowi adalah komunikasi politik. Kontroversi yang dipicu pernyataan Sudirman Said tersebut semakin membenarkan anggapan itu. Dalam berbagai kesempatan, menteri-menteri menyampaikan pernyataan yang menimbulkan reaksi kekecewaan dan kemarahan berbagai pihak. Alih-alih meringankan beban komunikasi politik presiden, mereka justru melahirkan kontroversi yang tidak perlu. Bukannya menjadi juru bicara yang baik, dalam beberapa hal mereka justru memperberat beban politik Presiden Jokowi. Kabinet Kerja menjadi kelihatan seperti kabinet yang banyak bicara.

Hal ini menunjukkan Kabinet Kerja secara keseluruhan belum menunjukkan strategi komunikasi politik yang solid. Pernyataan satu menteri bisa saja tiba-tiba bertolak belakang dengan pernyataan menteri lain, bahkan bertolak belakang dengan pernyataan Presiden. Semua ini dipertontonkan ke publik dan sering kali tanpa klarifikasi resmi setelah kejadian. Presiden dan menteri-menteri terkesan masih mencari-cari kerangka atau bentuk komunikasi publik yang sesuai dengan keadaan. Yang terjadi kemudian adalah mereka tidak menguasai benar: apa yang perlu disampaikan kepada publik dan apa yang tidak perlu, pertanyaan jurnalistik mana yang perlu dijawab dan mana yang bisa ditunda jawabannya, siapa yang sebaiknya berbicara dan siapa yang sebaiknya di belakang layar saja.

Selain itu, sesungguhnya tidak etis jika pemerintah Jokowi sedikit-sedikit menyalahkan pemerintah yang terdahulu. Tugas sebuah pemerintahan memang menyelesaikan masalah-masalah yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya.

Bangsa Indonesia sudah memiliki persepsi sendiri tentang mantan presiden SBY. Kritik pemerintahan Jokowi terhadap pemerintahan SBY tidak dengan mudahnya mengubah persepsi itu. Justru masyarakat akan mempersepsikan positif jika SBY secara konsisten menunjukkan sikap legowo, sumeleh, dan tidak banyak bicara. Patut dicatat, kelemahan pemerintah Jokowi dalam mengendalikan masalah-masalah ekonomi, misalnya, dengan sendirinya akan mendorong masyarakat untuk membandingkannya dengan keadaan yang bisa-jadi lebih baik pada masa pemerintahan SBY.

Oleh: Agus Sudibyo;  Direktur Eksekutif Matriks Indonesia

Sumber: Koran Tempo, 29/5/15

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top