OPINI

Karena Nyeri Itu Tiap Hari, Bukan Lima Tahun Sekali

OPINI | Pelanggaran HAM akan selalu menjadi kerikil dalam sepatu bagi seorang Prabowo Subianto. Sampai batas tertentu, boleh-boleh saja Prabowo merasa kesal dan mendamprat lawan-lawan politiknya yang telah mempolitisasi isu HAM untuk kepentingan politik praktis pemilihan presiden.

Tentu saja benar jika ada anggapan bahwa teriakan tentang HAM terdengar lebih nyaring menjelang pemilihan presiden. Ini soal momentum: ada kalanya perlawanan dilakukan dengan hening, ada kalanya perlawanan digerakkan dengan gegap gempita.

Saat seseorang yang tersangkut kasus pelanggaran HAM tinggal satu tangga lagi untuk menjadi penguasa, memangnya apa yang harus dilakukan oleh keluarga yang kerabatnya pernah menjadi korban pelanggaran HAM? Diam? 

Soalnya sederhana saja: jika orang-orang yang tersangkut dengan kasus-kasus pelanggaran HAM belum berkuasa saja kasus-kasus HAM di masa lalu tidak terungkap, apalagi jika orang-orang tersebut kelak berkuasa? Ini kecemasan yang sangat masuk akal. Sukar diterima akal sehat jika ada orang yang tidak bisa memahami kecemasan seperti ini.

Ini jelas “kampanye negatif” bagi Prabowo, tapi karena ini faktual maka jelas juga ini bukan fitnah, bukan pula kampanye hitam. Ada beda yang terang antara kampanye negatif dengan fitnah apalagi kampanye hitam. Karena Prabowo tersangkut pelanggaran HAM itu memang faktual, dan itulah sebabnya dia diberhentikan dari militer oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP).

Andai pun tidak ada kasus-kasus HAM di masa lalu yang belum terungkap, andai saja tidak ada orang-orang hilang yang belum kembali, andai saja Prabowo tak maju sebagai calon presiden, isu HAM tetap relevan dibicarakan untuk memastikan presiden terpilih punya sikap yang jelas dan terang benderang tentang hak hidup, hak beribadat sesuai keyakinan, hak untuk tidak diintimidasi dan tidak ditakut-takuti.

Ingat, Pansus Orang Hilang DPR-RI pada 2009 lalu sudah merekomendasikan beberapa hal, salah duanya adalah pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dan merekomendasikan agar Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang.

Dua hal itu belum terlihat dilakukan secara serius oleh pemerintahan SBY. Pengadilan HAM ad-hoc entah bagaimana nasibnya. Pencarian yang serius dan masif terkait nasib 13 orang yang belum kembali juga tak pernah dilakukan. Maka menjadi penting untuk memastikan presiden terpilih mau secara serius melakukan dua hal itu.

Dan ini bukan permintaan partai, tapi rekomendasi parlemen. Jadi bicara tentang pengadilan HAM ad-hoc dan mencari 13 orang yang hilang itu bukanlah lagu lama yang terus menerus diputar, karena lagunya bahkan belum disetel sama sekali.

Hari-hari belakangan ini, argumen semacam “rakyat tidak butuh HAM karena rakyat lebih butuh sembako” makin sering terdengar. Dalam kerangka argumentasi macam itu, sering kita dengar ucapan bahwa orang-orang yang sudah telanjur mati dan hilang jangan sampai menghalangi upaya memperbaiki masa depan bangsa.

Mengurus 200 juta rakyat, dalam argumen seperti itu, sering dianggap lebih penting daripada mengurusi apa yang sudah telanjur terjadi – termasuk “segelintir” nyawa (13 orang) yang sudah telanjur entah di mana dan ke mana.

Saya enggan percaya dengan model argumentasi macam itu. Karena hanya perlu membaca biografi para diktator dunia (dari Soeharto, Hitler, Pol Pot, Idi Amin, Stalin, dll) untuk paham betapa jargon “demi kejayaan negara”, “demi kesejahteraan rakyat”, “demi harga diri bangsa” seringkali hanyalah dalih untuk menutupi perilaku despotik dan sewenang-wenang.

Siapapun tak bisa berbusa-busa bicara tentang visi misi pendidikan dan kesehatan gratis jika untuk soal mendasar (jaminan untuk tak diambil paksa, diculik dan ditembak di luar hukum dan dengan sewenang-wenang) tak bisa dipenuhi.

Untuk apa imunisasi gratis jika setelah dewasa nyawa seorang anak bisa diambil dengan percuma? Untuk apa pendidikan gratis jika setelah seorang anak jadi cerdas dan lantas mengambil sikap kritis lalu bisa diambil begitu saja dengan alasan mengganggu ketertiban dan mengganggu Sidang Umum MPR? Untuk apa lapangan kerja jika setelah bersusah payah membangun rumah hasil bekerja sekian lama akhirnya harus terusir hanya karena keyakinan yang berbeda?

Lagi pula, pernyataan bahwa HAM tak lebih dari “isu yang digoreng lima tahun sekali” hanyalah dalih yang mencoba menutupi apa yang terjadi pada hari-hari biasa ketika tak ada pemilu atau pemilihan presiden.

Kepada mereka yang menganggap perkara HAM sebagai “isu yang digoreng lima tahun sekali”, kalian hanya perlu untuk mencari tahu apa yang terjadi setiap hari Kamis sore di depan Istana Presiden di Jalan Merdeka Utara. Kelak jika pemilihan presiden yang riuh rendah ini sudah selesai, tengoklah ibu-ibu yang berdiri di sana, lihatlah mereka yang berdiri dalam diam sembari mengenakan pakaian hitam dan payung hitam, pada setiap Kamis sore.

Kalian boleh datang akhir Juli, boleh menengok akhir Agustus, boleh menjenguk akhir 2014 atau awal 2014. Kapan saja kalian sempat. Pokoknya kalian tengok, deh, bagusnya setelah pemilihan presiden, agar tak sembarangan melecehkan perjuangan orang-orang yang menuntut kejelasan nasib orang-orang terkasih yang hilang, mati, dan diperkosa sebagai “isu yang digoreng lima tahun sekali”.

Untuk diketahui, mereka sudah berdiri setiap Kamis sore di depan Istana Negara sejak 18 Januari 2007. Mereka melakukannya setiap pekan, setiap bulan, setiap tahun. Tanpa putus. Tanpa jeda. Setiap Kamis sore. Sekali lagi: setiap Kamis sore.

Kepada yang berdalih kenapa isu HAM tidak diangkat saat Prabowo berpasangan dengan Megawati dalam pemilihan presiden 2009, dalih itu sangat pas ditujukan kepada para politisi PDIP atau pendompleng wacana HAM yang baru bicara soal ini karena berkepentingan dengan pemilihan presiden 2014.

Silakan kalian sorongkan cermin kepada mereka-mereka yang tebang pilih itu. Termasuk pada Megawati yang masih memberi tempat terhormat pada Hendropriyono yang namanya tak bisa dilupakan begitu saja dalam insiden pembantaian di Talangsari.

Tapi dalih kalian tidak pernah bisa ditodongkan kepada mereka yang berdiri di depan Istana Negara setiap Kamis sore. Asal kalian tahu, mereka tetap berdiri di sana di hari-hari menjelang pemilihan presiden 2009 ketika Prabowo maju sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati. Dan itulah kenapa Megawati dihukum kalah telak dari SBY pada pemilihan presiden 2009.

Tuduhan bahwa mereka diam saat Megawati menggandeng Prabowo pada 2009 sama sekali tak berdasar. Mereka, termasuk Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), saat itu mengedarkan pernyataan sikap meminta  publik untuk tidak memilih caleg, parpol dan capres/cawapres pelaku pelanggar HAM, pelindung pelanggar HAM, atau yang tidak punya agenda HAM.

Betapa tak berperasaannya mulut yang dengan entengnya meledek aksi-aksi menuntut keadilan itu sebagai “orang-orang yang belum move-on”. Kalian kira berdiri setiap Kamis sore di depan istana selama hampir 8 tahun itu seperti ABG-ABG yang meratap-ratap karena ditinggal pacar yang selingkuh dengan anak kelas sebelah?

Siapa yang sanggup melakukan aksi yang sama terus menerus selama 8 tahun? Hanya cinta yang begitu kuat dan dalam yang sanggup menyuplai energi tak terperi sehingga mereka bisa terus melakukannya. 

Dan mereka, ibu-ibu dengan pakaian dan payung hitam itu, akan tetap berdiri di depan Istana Negara. Jokowi sekali pun, andai dia akhirnya yang menjadi presiden dan terbukti tak serius menegakkan rasa keadilan, akan tetap “diganggu” oleh pemandangan pakaian dan payung hitam tiap kali menengok ke halaman istana pada Kamis sore.

Karena untuk sebuah cinta yang dalam, kehilangan akan selalu aktual. Karena untuk kerinduan yang menahun, kehilangan tak akan pernah basi (seperti yang pernah dikatakan Ahok saat membela bos di partainya). Hilangnya boleh tahun 1975 atau 1998, tapi nyerinya bisa datang kapan saja sampai entah.

Bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta karena kekerasan yang dilakukan negara dan aparatusnya, HAM bukanlah pasal-pasal dalam konstitusi atau kalimat-kalimat indah nan bersayap dalam sebait puisi. Bagi mereka, HAM adalah sesuatu yang konkrit dan sehari-hari.

HAM adalah ketika bangun pagi dan mendapati kamar anak tercinta masih kosong tak berpenghuni. HAM adalah isak sedih dalam hati saat menatap foto suami yang sudah mati. HAM adalah mulut yang diam terkunci tiap kali ada anak bertanya: Bu, bapak kapan pulang?

Untuk setiap perasaan rindu pada keadilan, akan selalu ada Kamis sore nan hitam di depan Istana Negara. Setiap Kamis sore, setiap Kamis sore.

 

Oleh: Zen RS, penulis rutin di Yahoo Indonesia
Sumber: NewsRoom Yahoo.co.id
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top