OPINI

Koruptor dan Kesempatan Kedua

OPINI | LAGALIGOPOS.COM – Korupsi di negeri ini ternyata tak membuat pelakunya menderita rasa malu yang hebat. Seperti di Jepang misalnya, pejabat publik yang pernah melakukan korupsi akan bunuh diri atau menarik diri dari kehidupan sosial. Atau seperti di negara-negara Eropa, pejabat yang meski baru terindikasi korupsi, langsung mengundurkan diri saat itu juga.

Ada semacam mekanisme koreksi yang secara otomatis dilakukan oleh publik yang membuat para koruptor terlempar dari struktur sosial masyarakat.

Namun di negeri kita, hal seperti itu tidak ada. Yang terjadi justru sebaliknya. Parahnya, berkembang sejenis kecenderungan untuk memberikan kesempatan kedua bagi mantan koruptor. Kenapa bisa begitu kacau? Mari kita lihat!!!

Moral dan Moralisasi

Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah perbuatan yang tercela. Tapi, yang menjadi soal adalah cara pandang kita terhadap korupsi, ini yang berbeda-beda. Perbedaan cara pandang itu persoalan personal, yang mencengangkan adalah beredar semacam upaya sistematis dalam kehidupan sosial politik kita dewasa ini untuk memberi pembenaran perilaku tersebut dalam balutan moral dan moralisasi.

Membalut persoalan korupsi secara moral adalah menganggap perbuatan itu sebagai “ujian Tuhan”. Para koruptor juga biasa menamainya “khilaf”. Dan bagi mereka yang telah menjalani hukuman, tapi masih ingin kembali mengincar jabatan publik, mereka menamainya dengan istilah-istilah yang indah, moralistik, dan bahkan religiustik. Misalnya, “saya telah bertobat” atau “saya telah menjalani hukuman dengan ikhlas”.

Padahal, tindakan korup itu intrinsik didalamnya Amoralitas. Pembenaran-pembenaran moral disini berkonsekuensi pada dua hal. Pertama, sebagai obat untuk meminimalisir rasa bersalah bagi si pelaku. Kedua, sebagai siasat mengurangi sentimen negatif dari publik.

Berangkat dari titik tolak ini, ada kepentingan terselubung mengapa sebuah kesalahan moral perlu di Moralisasi.

Meminjam ulasan Ignas Kleden, Moralisasi adalah kecenderungan untuk melihat semua gejala sosial tidak dengan konsep-konsep sosiologis tetapi dengan menggunakan kategori-kategori moral. Artinya budaya korupsi yang sudah mengakar di Negeri ini tak relevan lagi dilihat semata-mata persoalan moral, tapi sebagai gejala sosial struktural.

Pada umumnya, dalam menghadapi kenyataan sosial yang pahit seperti korupsi, kecenderungan untuk menanggapi dan menanganinya secara moralistik lebih besar daripada kecenderungan untuk menanggapinya secara sosiologis. Salah satu sebabnya ialah karena dengan itu kita sedikit banyaknya membebaskan diri dari kewajiban untuk menangani kondisi dan kaitan-kaitan obyektif yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat yang dirampas.

Moral disini menjadi “goa persembunyian” untuk menghindari semua ongkos sosial yang harus dibayar untuk mengatasi kerusakan yang ditimbulkan dari prilaku korupsi. Parahnya, ada sejenis cara berpikir yang menganggap hal itu harus dimaafkan dan perlu diberi kesempatan kedua.

Dari sini juga kita lihat “wajah ganda” dari moralitas. Kata Ignas Kleden, moral suatu saat menjadi pranata tempat kita mengungkapkan nilai-nilai baik dan buruk. Tetapi di saat lain menjadi tempat kita menyembunyikan diri dari persoalan-persoalan sosial.

Sebenarnya, penggunaan moralitas seperti ini sudah dicurigai oleh Nietzche tahun 1889 silam, di dalam bukunya The Birth of Tragedy and Genealogy of Morals, ia mengatakan bahwa manusia yang telah tercemar secara moral cenderung mengubah masalah “ini” menjadi masalah “itu”.

Karena jengkel melihat kemunafikan semacam itu, lelaki kurus berkumis tebal itu menyarankan dilakukan penilaian ulang atas semua nilai-nilai yang ada dengan pertanyaan “aneh” berikut ini. “Di bawah kondisi apa manusia membangun pertimbangan-pertimbangan moral? Apa nilai (maksud) mereka sebenarnya? Apakah sejauh ini nilai-nilai tersebut bermanfaat atau justru menghambat umat manusia?,” Pertanyaan ini tidak untuk dijawab, tapi untuk direnungkan bersama!

Dari uraian ini, terlihat jelas kebutuhan kontemporer kita untuk mengedarkan semacam agumen publik yang berkualitas agar kita tidak buru-buru menilai peristiwa hukum, sosial, dan politik, semata-mata dari sisi moral.

Mitos-mitos moralitas yang kental dalam ruang publik kita akhir-akhir ini perlu ditinjau ulang. Maksudnya, diperlukan infrastruktur pikiran agar publik terbiasa berpendapat kritis ketimbang berpendapat moralis.

 Oleh: Aswan, Dosen Komuniasi IAIN Palopo

1 Comment

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top