OPINI

Mental Revolusi

OPINI | Kita tidak punya musuh bersama. Karena itulah, kita saling memusuhi. Yang pada mulanya kawan, pada akhirnya lawan. Takdir betapa tiada yang abadi dalam politik, selain kepentingan telah membuat kita menjadikan segala sesuatu sebagai politik. Setidaknya, segala sesuatu itu wajar jika kita politisasi. Atas nama kepentingan, kita enteng menghalalkan segala cara. Bahkan dengan menciptakan musuh bersama, meski ia bersih dari dosa sejarah.

Politik pencitraan berhadap-hadapan dengan kampanye hitamPolitik bukan lagi tentang siapa bermain cantik, namun lebih tentang siapa berperan sebagai wasit. Tapi wasit ternyata tidak ada dalam politik. Semuanya, bahkan termasuk para penonton, adalah pemain.

Setiap penonton dihargai satu suara, yang dirumuskan dalam demokrasi sebagai “one man one vote”. Tidak ada peluit, kartu merah, kartu kuning, off side, penalti atau pelanggaran apa pun.

Hampir semua kita langgar, baik secara terang-terangan maupun diaam-diam. Kemenangan dalam tanding politik sesungguhnya hanya seperti adu skor yang bisa kita atur sejak awal. Selebihnya hanya formalitas. Tak mengherankan jika kita menyebutnya “pesta demokrasi”. Padahal, tidak ada pesta dalam demokrasi, selain nyanyian lagu ulang tahun, kita toh memang terus-menerus mengulang tradisi politik kotor tahun demi tahun, lalu tiup lilin dan potong kue kekuasaan.

Pesta demokrasi tidak berlaku bagi rakyat. Jikapun menerima uang dari politikus, rakyat dihantui kewajiban untuk mencoblos merek. Kalaupun menerima uang, tapi menolak pesan sponsor, rakyat tetap dijebloskan kedalam permainan uang panas. Tidak ada keberkahan dari kertas bernomor seri entah asli atau palsu itu. Sejak mau menerima duit, sejak itu kita telah terjerumus dalam lingkaran setan. Kemurnian suara dari rakyat toh juga sirna sejak dilebur dalam koalisi.

Tak ada keterwakilan dalam lebaga legislatif. Kalaupun ada yang dibela, mereka bukan rakyat. Mereka adalah konstituen. Dan, bagi wakil rakyat, itu artinya pundi-pundi kepentingan. Tak ada kepemimpinan dalam lembaga eksekutif pula. Kalau ada yang dipimpin, mereka bukan kabinet. Tapi gerombolan penyamun dari gangster berlebel partai politik. Jual- beli nama sudah terlalu menjemukan untuk dibicarakan, karena sudah basi. Kita belum bergerak ketema baru.

“Revolusi mental” mudah dipatahkan oleh “mental revolusi”. Ya, kita memang anak bangsa dengan mental revolusi. Kita kuat bergerilya lama, bahkan demi pertempuran yang sejak awal kita ketahui akan berakhir dengan kekalahan. Kalaupun tahu diri tak akan menang, kita masih akan menawarkan peran merecoki, memecah konsentrasi atau merusak kesempatan. Dan, itu ada harga tersendiri dalam politik. Toh, kita sama-sama tahu politk bukan milik politikus, melainkan milik pebisnis.

Pemilu diadakan sesuai dengan kepentingan, antara lain untuk judi, arisan, lelang, atau jual-beli. Yang penting, pebisnis yang ikut bermain harus memiliki sahan besar diperusahaan yang bernama negara, lengkap dengan kop surat, stempel, dan tanda tangan eksekutif. Dan, setiap pebisnis pada hakikatnya adalah petani; menanam politikus sejak benih karena yakin akan panen kekuasaan. Lokomotif reformasi saja kita bisa jual ke mereka, apalagi cuma bordes dan restorasi. Kita siap terima order.

 

Oleh: Candra Malik, Praktisi Tasawuf
Sumber: KoranTempo, Edisi 20 Mei 2014 
1 Comment

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top