OPINI

Menunggu Presiden Asketis

OPINI | Sering politik tak lebih dari teater, termasuk pilpres. Casting sudah ditentukan. Panggung sudah disiapkan. Semua sibuk bekerja, termasuk tim pemenangan presiden, para botoh material/politik, panitia, dan makelar.

Apakah yang terpilih nanti adalah presiden berkarakter asketis dan memiliki otentisitas diri yang  terpancar dalam konsistensi kata ataupun tindakan? Atau justru presiden bermental hedonis yang memahami kekuasaan hanya sebagai alat untuk meraih kamukten, kelimpahan material?

Presiden bukan sekadar manajer kekuasaan. Ia juga kesatria konstitusi yang berjiwa brahmana, resi, atau basah kuyup nilai- nilai profetik. Presiden bertanggung jawab secara etik dan moral membebaskan rakyat dari kemiskinan material dan kultural sekaligus meninggikan eksistensi rakyat menjadi bermartabat.

Rakyat tak tahu apa sesungguhnya yang terjadi di bilik koalisi pencapresan atas tokoh terpilih. Negosiasi? Transaksi? Kompromi? Apakah nasib rakyat ikut diperhitungkan sebagai pemilik terbesar saham di republik ini? Apakah dengan kompromi itu kekuasaan harus dikapling- kapling untuk para pemenang dan pendukungnya? Jika ini yang terjadi, bukankah para elite politik yang berlaga dalam pilpres tak lebih dari para pemburu kekuasaan? Lalu rakyat mendapat apa? Sekadar remah-remah makanan yang tersisa dalam pesta?

Populis dan primordial

Isu populisme dan nasionalisme selalu menjadi komoditas dominan dalam  ”menjual” pasangan capres-cawapres ke publik. Sebagai bumbu penyedapnya adalah primordialisme: agama dan suku. Rakyat tahu isu primordialisme tak lebih dari trik politik lawas demi mengeksploitasi sentimentalitas publik.

Rakyat sudah capek menderita, masihkah para elite politik tega ”membenturkan” rakyat pada tembok primordialisme yang sangat mungkin memicu konflik horizontal? Konflik primordial hanya akan mengoyak-oyak peradaban yang sudah dibangun dengan susah payah.

Rakyat pun sedih jika populisme dan nasionalisme hanya jadi gincu yang dikapitalisasi dan dieksploitasi demi kepentingan politik. Ini selalu terjadi dalam setiap pemilu dari orde ke orde dan dari rezim ke rezim. Mereka lebih suka memperkuat elitisme dan memberi jalan lapang bagi kekuatan ekonomi-politik asing. Bukan negara kesejahteraan yang dibangun, melainkan ”negara penderitaan” bagi rakyat.

Bagi kelompok elite politik dan ekonomi, negara tak lebih dari ”kantor perusahaan” untuk merencanakan, mengorganisasi, dan melaksanakan pemburuan fee, rente, demi menggelembungkan deposito kekayaan mereka.

Wajar jika pengalaman sangat pahit itu melahirkan kepahitan: rakyat sulit menemukan penyelenggara negara berkapasitas pemimpin atau negarawan. Yang ada tak lebih dari pribadi-pribadi yang layak disebut aktor-aktor perniagaan politik ataupun kekuasaan. Mereka bekerja nyaris tanpa passion pengabdian dan pelayanan. Mereka tak lebih dari pribadi-pribadi yang ”kikir” untuk peduli meski setiap hari bermain retorika soal nasib rakyat.

Kekuasaan asketis

Budayawan dan sejarawan Kuntowijoyo  memberikan tamsil yang bagus atas sistem kekuasaan dalam lakon teater Topeng Kayu. Dalam naskah yang memenangi kejuaraan lomba penulisan naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1970-an ini, dikisahkan tentang tokoh-tokoh yang berhasil membangun sistem kekuasaan (orde), tetapi akhirnya tak mampu mengendalikannya. Kekuasaan berjalan tanpa kontrol dan melindas nilai-nilai kemanusiaan.

Indonesia ke depan berpotensi memasuki ”rezim topeng kayu”. Pada awalnya para pelaku kekuasaan itu (mungkin) berniat baik untuk membangun Indonesia yang lebih berbudaya dan bermartabat. Namun, jalan kekuasaan bukan jalan lurus dan mulus. Selalu ada tikungan. Di balik tikungan itu ada hedonisme yang menggoda hasrat berkuasa.

Hedonisme adalah ”ideologi” jagat daging (biologis). Adapun keinginan untuk meneguhkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah dorongan roh yang selalu terhubung dengan Tuhan. Hanya jiwa sehat, teguh, dan asketis yang mampu memenangi pertempuran besar antara kemuliaan roh dan kedangkalan daging. Asketisme selalu jadi jalan kemuliaan manusia untuk menemukan dirinya yang otentik.

Berkali-kali rakyat telah merasakan kepahitan rezim yang dipimpin hedonisme yang ditandai dengan maraknya korupsi, baik secara material maupun nilai-nilai. Kini, rakyat membutuhkan presiden yang asketis dan otentik.

Asketisme biasa diwujudkan sistem kekuasaan yang lebih mengutamakan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban di mana hukum menjadi panglima dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Terjadilah aktualisasi nilai, etika,  moral, dan penguatan etos yang mendorong tumbuhnya bangsa produsen, bukan bangsa konsumen seperti yang terjadi selama ini.

 

Oleh: Indra Tranggono, Sastrawan dan Pemerhati Kebudayaan
Sumber: KompasCetak, Edisi 06 Juni 2014
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top