OPINI

Perbedaan Presiden Soekarno Dan SBY Saat Bertandang Ke Istana Luwu

OPINI | Lagaligopos.com – Dahulu ketika zaman Andi Djemma Datu Luwu, beliau bertemu Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia di awal kemerdekaan dengan penuh hikmat dan rasa saling menghargai dengan tulus diantara keduanya.

Pria yang lahir pada 15 januari 1901, putra mahkota pasangan dari Datu Luwu Andi Huzaima Andi Kambo Opu Daeng Ri Sompa dengan Andi Engka Opu Cenning ini tahu betul akan nilai yang merupakan amanat rakyat yang diembannya, sehingga ia tidak akan mau menanggalkan nilai itu hanya untuk hal-hal yang tidak penting.

Karena nilai itulah, pria kharismatik pewaris peradaban agung ini saat bertemu dengan Presiden Soekarno, baik di Istana Luwu maupun di Istana Negara Jakarta, keduanya saling menghomati dan bekerja sama demi satu hal, yaitu “Rakyat”.

Kesamaan visi itulah (Rakyat) yang membuat pria yang hanya mengenyam pendidikan pada tingkat indlanscheschool (IS, Sekolah Melayu tahun 1908-1913) itu menyatakan diri melebur dalam pangkuan Negara Republik indonesia. Saat itu di Sulawesi, kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama yang menyatakan bergabung dengan negeri ini.

Namun itu dulu, saat ini, nilai itu sudah mulai bergesar jauh. Ini terlihat jelas dari cara Presiden SBY bertandang ke Istana Luwu beberapa hari kedepan.

Tidak seperti Soekarno, SBY beserta rombongan terkesan begitu sumperior sehingga membuat nilai-nilai budaya domestik yang merupakan peta jerih payah manusia sejak dahulu tergeser atau bahkan dihilangkan oleh ketatnya standar keprotokoleran Presiden sendiri.

“Saya tidak bisa terlalu dekat dengan Presiden, itu standar keprotokoleran,” ucap Datu Luwu XL, Andi Maradang Makkulau di Istana, Rabu (18/0214).

Dengan wajah yang terlihat kelelahan karena baru saja tiba dari Makassar, cucu Andi Djemma itu mengaku bahwa saat SBY nanti bertandang ke Istana, ia pun tidak mempunyai kesempatan menyampaikan apa pun kepada Presiden.

“Aturannya saya tidak boleh terlalu dekat dengan Presiden, bukan saya juga yang akan memakaikan songkok (gelar) untuk beliau, tapi paman saya. Saya masih bersedia jika paman saya yang melakukan itu, kalau orang lain saya tidak setuju,” ucapnya.

Lalu, bagaimana dengan nilai-nilai budaya domestik yang merupakan peta jerih payah manusia sejak dahulu yang menjadi acuan bagi rasa merasa dalam membangun interaksi, seperti yang dilakonkan antara Soekarno dan Andi Djemma.

Dalam masyarakat yang berbudaya, Interaksi antara “Tamu” dan “Tuan Rumah” sangat jelas norma-norma yang mengitarinya. Lalu mau kita namakan apa interaksi yang akan terjadi nanti antara Presiden SBY dan Datu Luwu Andi Maradang Makkulau?. (RPB)

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top