OPINI | Ruang politik bangsa akhir-akhir ini diwarnai iklim perpecahan, perseteruan, dan konflik di antara aktor politik dalam aneka institusi politik sebagai ”ruang bersama” merealisasikan gagasan politik dan kepentingan bangsa: partai politik, koalisi partai, parlemen, dan kabinet pemerintahan.
Iklim keretakan menjadi indikasi melemahnya kekuatan institusi dan komunitas politik, diambil alih hasrat individualisme politik. Politik sebagai arena membangun rasa kebersamaan (ide, gagasan, ideologi, tujuan, cita-cita) lewat komunitas kini jadi arena pelepasan hasrat kekuasaan individu aktor politik, dengan menggunakan institusi dan komunitas sebagai alibi dalam perburuan kekuasaan. Komunitas politik digantikan personalitas politik, kepentingan bersama ditutupi hasrat individu, ideologi politik diambil alih simulasi politik.
Politik kini layaknya cermin retak, dengan individu sebagai komponen utama institusi politik secara ideologis telah tercabut dari ikatan komunitasnya, meski secara sosial tetap hadir dalam ruang-ruang komunitas itu, demi akses ke gerbang kekuasaan. Kehadirannya di dalam ruang bersama kini tak lagi untuk memperjuangkan ide, gagasan, ideologi, dan nilai komunitas, tetapi untuk melepaskan hasrat kekuasaan individual, dengan memanipulasi ideologi komunitas.
Simpul Politik
Keberlangsungan komunitas dan institusi politik ditentukan oleh kuatnya ikatan yang mengikat aktor-aktor politik di dalamnya sebagai kesatuan. Melalui ikatan itu, nilai individu bertemu secara dialektis dengan nilai-nilai bersama atau komunitas. Nilai individual tak dapat meniadakan nilai komunitas meski tak dapat pula dihilangkan sebagai tiang penyangga komunitas politik.
Politik adalah tempat ”ada bersama” (being-together) individu-individu sebagai warga sekaligus subyek, yang melaluinya disusun gagasan, dijalankan misi, dibangun nasib, direlakan pengorbanan, diukir sejarah, dan dirangkai makna bersama. Di dalam ruang bersama itu dibangun simpul-simpul (knots) yang mengikat individu-individu sebagai komunitas. Ruang itu adalah dialektika antara interioritas—yaitu makna-makna bersama yang diinternalisasikan para aktor politik—dan eksterioritas—yaitu makna individual yang disumbangkan untuk ”ruang bersama” (Jean-Luc Nancy, 1993).
Di dalam komunitas, setiap individu diikat oleh simpul-simpul bahasa, tindakan, perilaku, pernyataan, dan makna, yang diekspresikan melalui aneka media puisi, slogan, moto, atribut, atau lagu. Politik adalah perangkaian ucapan, tindakan, dan pernyataan menjadi simpul, yang secara terus-menerus disimpul ulang melalui dialektika kekuatan individu dan komunitas. Politik adalah tegangan antara dua kekuatan ini. Tanpa simpul, komunitas politik tak lebih dari kerumunan individu tanpa ikatan nilai bersama.
Karena itu, individu sebagai warga harus ditransformasikan menjadi subyek melalui proses ”subyektifikasi”, yaitu produksi serangkaian tindakan, ungkapan, dan ekspresi di dalam medan pengalaman yang ada, tetapi mampu merekonfigurasi medan pengalaman itu, dengan menawarkan nilai pengalaman baru dalam konstelasi politik yang terus berubah. Melalui komunitas politik inilah, ”yang tak dihitung” di dalam wacana politik menemukan ruang eksistensinya (Ranciere, 1995).
Dialektika antara yang pribadi dan publik atau individu dan komunitas membangun medan dramaturgi politik, di mana berlangsung pertarungan di antara kekuatan komunitas politik. Politik yang tanpa dramaturgi tak lebih dari arena palsu, di mana para aktor politik berkumpul bersama menampilkan identitas tampak luar, tetapi secara esensial berjarak, karena diam-diam menyembunyikan agenda pribadi, bahkan jika perlu menjadikan kawan sebagai lawan.
Individualisme politik adalah kecenderungan ketika prinsip hadir bersama di atas landasan keyakinan bersama—untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat-bangsa yang lebih luas—direduksi jadi kepentingan pribadi-pribadi, yang menggunakan institusi politik sebagai kendaraan menggapai hasrat kekuasaan pribadi. ”Hadir bersama” sebagai ciri politik tak lagi bermakna, karena ideologi politik tak lagi memiliki kekuatan, diselimuti gelora hasrat kekuasaan individual.
Desubyektivisme Politik
Individu dan warga hanya berfungsi secara politik apabila ia dapat ditransformasikan jadi subyek politik, yaitu ”diri” yang dibangun melalui celah antara imajinasi dirinya dan bagaimana masyarakat membatasi imajinasi itu melalui seperangkat aturan, konvensi, tabu, kebiasaan, atau konsensus yang ada di dalam komunitas, kelompok, masyarakat, atau bangsa. Subyek politik dibangun dalam tegangan antara imajinasi diri dan tekanan sosial.
Dalam membangun identitas diri, subyek politik tak dapat melepaskan diri dari dua model identifikasi, yang memberi subyek sebuah posisi di antara subyek-subyek lain (the other) di dalam ruang sosial-politik. Di satu pihak, subyek membangun identitasnya dengan menginternalisasikan ”diri ideal” (ideal ego) bersifat imajiner (imaginary identification); di pihak lain, identitas itu harus menyesuaikan diri dengan ”tataran simbol” (symbolic order), yaitu segala bentuk aturan, konvensi, dan kode-kode sosial, yang bersifat membatasi dan memaksa (coercive) (Zizek, 1989).
Karena itu, di dalam politik selalu ada ruang ideologis sebagai penanda ”ada bersama”, di mana ide, gagasan, keyakinan, dan ideologi politik dibangun, dipertahankan, disosialisasikan, ditawarkan, dan dipasarkan dalam pasar politik, melalui komunikasi, persuasi, propaganda, dan seduksi politik, dengan subyek sebagai bagian esensialnya. Ruang ideologis diisi dengan seperangkat ide, gagasan, atau penanda besar (master signifier): gagasan politik (demokrasi, komunisme), ekonomi (kapitalisme), atau jender (feminisme).
Subyek politik dibangun lewat mekanisme interpelasi ideologis di mana aktor politik (merasa) dipanggil oleh ide, gagasan, keyakinan, atau ideologi politik, dan menjadikannya landasan tindakan politik. Ideologi memanggil individu sebagai subyek politik dengan menginternalisasi gagasan dan makna-makna politik yang ditawarkan. Panggilan ideologis ini mengikat seorang aktor politik di dalam komunitas politik, khususnya parpol (Althusser, 1983).
Ruang politik adalah arena yang di dalamnya berlangsung pertarungan ideologis di antara komunitas-komunitas politik memperebutkan posisi hegemoni dalam pasar politik. Setiap kelompok politik—khususnya parpol—mengerahkan segala bentuk modal ideologis, ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik untuk memenangi pertarungan. Inilah dramaturgi politik, di mana setiap elemen politik menampilkan segala gestur politik sebagai jalan mencapai hegemoni politik.
Akan tetapi, yang terjadi kini adalah semacam desubyektivisme politik, yaitu ketika ruang pertarungan hegemoni di antara komunitas-komunitas politik melalui arena dramaturgi politik diambil alih oleh pertarungan kekuasaan di antara individu di dalam arena di belakang layar politik, yang tak tampak dan tak terakses publik. Arena politik telah beralih dari pertarungan hegemoni di ruang publik menjadi pertarungan tak-tampak di antara individu di dalam internal parpol sendiri—the invisible political arena.
Eksterioritas pertarungan ideologi di antara parpol—di mana ”hadir bersama” dimaknai sebagai perjuangan bersama membangun tanda, makna, dan nilai bersama—kini menjelma jadi interioritas pertarungan kekuasaan di antara aktor-aktor di dalam institusi politik itu sendiri, di mana mereka mengerahkan segala trik dan tipu daya untuk menggapai kekuasaan di dalam retakan komunitas politik, dengan meminggirkan ideologi, dan kalau perlu menyingkirkan kawan sendiri. Kekuasaan adalah masa depan ideologi kita.
Oleh: Yasraf Amir Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Sumber: KompasCetak