Ketika suara rakyat Desa Lampuara tak lagi didengar pemerintah, kini giliran para legislator yang ditagih janji dan tanggung jawab
LUWU, LAGALIGOPOS – Di antara ladang yang mulai kembali digarap dan jalan berlubang yang tak kunjung diperbaiki, sebuah desa kecil di pertengahan selatan Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, masih menyuarakan kegelisahan yang telah lama dipendam. Desa Lampuara bukan nama yang sering muncul dalam berita. Tapi sejak akhir 2024, suara dari desa ini perlahan menjadi gema perlawanan terhadap tumpulnya fungsi pemerintahan, termasuk lembaga yang konon katanya “wakil rakyat.”
Semua bermula dari hal sederhana permintaan warga agar Pemerintah Desa Lampuara membuka Laporan Pertanggungjawaban Dana Desa. Transparansi yang dijamin Undang-Undang itu tak kunjung diberikan, meski sudah berulangkali diminta secara resmi. Ketika tak ditanggapi, warga melapor ke DPMD Luwu. Hasilnya? DPMD justru menyuruh warga kembali ke desa yang sama—seolah-olah lingkaran setan itu sengaja dipelihara.
Di tengah kebuntuan, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Inspektorat Luwu menyatakan adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan keuangan desa. Bukannya menjadi alarm bagi para pengambil kebijakan, hasil audit itu justru mengendap. Bupati Luwu tak kunjung menjatuhkan sanksi, bahkan untuk sekadar memberhentikan sementara kepala Desa Lampuara, Adam Nasrum.
Yang lebih mengejutkan, para anggota DPRD dari Dapil VIII, termasuk Komisi I yang seharusnya jadi pelindung konstitusi dan pengawas eksekutif, justru memilih bungkam. Aspirasi rakyat diabaikan. Audiensi tidak terwujud. Janji ditepikan. Bahkan sejumlah warga mengaku, pesan mereka diabaikan saat mencoba berkomunikasi secara langsung maupun melalui media sosial.
“Kami ini rakyat yang memilih mereka. Tapi sekarang kami harus mengadu ke Badan Kehormatan DPRD karena mereka tidak mewakili kami lagi,” ujar Sri Wahyuni (42), ibu tiga anak yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Lampuara Menggugat. Matanya berkaca, bukan karena marah, tapi karena lelah menyuarakan keresahan mereka hingga 7 bulan.
Aduan resmi itu akhirnya dilayangkan pada 8 Juli 2025 lalu ke Badan Kehormatan (BK) DPRD Luwu. Komisi I dan Dapil VIII disebut secara terbuka. Mereka dianggap tidak menjalankan fungsi pengawasan, bahkan cenderung membiarkan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang terus berlangsung di level desa.
“Ini bukan hanya soal uang. Ini soal harga diri rakyat,” kata Andi Ashar, tokoh masyarakat setempat. “Kalau DPRD diam, BPD bungkam, dan Bupati tak peduli, kami masih punya suara. Kami akan pakai suara itu sampai ke Pusat jika perlu,” tegasnya
Sementara di gedung DPRD Luwu, para anggota dewan masih berlalu-lalang. Tak semua mau berkomentar. Seorang anggota DPRD Luwu yang dihubungi wartawan hanya menjawab singkat, “Nanti saya cek,” jawabnya dengan sengkat.
Hingga berita ini diterbitkan belum ada konfirmasi dari Badan Kehormatan DPRD Luwu.
