OPINI

Jalan Lain Para Intelektual

Dunia intelektual harus terlibat dalam kritik permanen, terhadap semua penyalah gunaan kekuasaan atau otoritas”  (Pierre Bourdieu)

OPINI – Pentas politik adalah sebagian dari  sebuah panggung kaum intelektual, konon ruang tersebut dianggap sebagai ruang menggagas ide atas berbagai realitas sosial yang jauh dari kepentingan masyarakat umum,  meski kaum intelektual bukan sebagai kelompok para nabi, namun kerap kaum intelektual harus menanggung kepentingan universal agar mampu  menyuarakan keadilan yang ia pahami, bagi kita masyarakat biasa kaum intelektual adalah mereka yang partisipan melebur dalam kelas sosial masyarakat, mereka di syaratkan sebagai penyambung lidah rakyat, bahkan menjadi manusia partispatoris yang terlibat langsung bersama masyarakat menggagas perubahan-perubahan yang kerap tidak di hadirkan oleh kekuasaan.

Intelektual Dan Politik (se-mestinya)

Setiap kelas memiliki intelektual begitulah Pierre Bourdieu menjelaskan tentang keberadaan intelektual, ia menggambarkan bahwa dalam setiap kelas selalu memiliki intelektual, intelektual yang dalam arena sosial sebagai agen mencoba membangun arenanya dalam ruang “kepentingan tertentu”, termasuk dalam arena politik itu sendiri.

Posisi intelektualpun terus menjadi diskursus yang meyejarah  mulai dari Julian Benda dalam bukunya Penghianatan Kaum Cendikiawan, Antonio Gramsci  tentang Intelektual Organik, Ali Syariaty tentang Rausyan Fikr (pemikir tercerahkan), hingga Pierre Bourdieu tentang gagasan intelektual kolektifnya, bagi para pemikir tersebut peran  intelektual menjadi sorotan tajam dalam ruang-ruang sosial.

Intelektual hidup dalam kelasnya sendiri, membaca buku, merayakan hingar bingar lampu pengetahuan, membangun kritik terhadap berbagai gagasan perubahan sosial, sibuk dalam diskursus-diskursus antinomi-antinomi pengetahuan dan melupakan peran-intelektual secara nyata. Reputasi intelektual dalam ruang seperti ini hanyalah upaya penenemuan eksistensi diri, disisi lain kita pun tersentak melihat fakta sosial ketika intelektual mulai bersinggungan dan melarutkan diri  dengan politik praktis, intelektual justru menjadi  kelompok, fraksi yang terdominasi; terhegemoni dari struktur politik yang ada.

Kekuasaan politik terus “meminjam” keberadaan intelektual untuk terlibat dalam ruang politik pragmatis yang kadang tidak subtantif, basis keberadaan intelektual bukan sebagai penyuara, atau penyambung harapan rakyat, alih alih sebagai kaum intelektual, ketika bersinggungan dengan politik ruang rasionalisme-argmentatif tiba-tiba meretak lalu menjadi serpihan yang bersimpuh dihadapan pragmastisme. Dalam arena politik yang sangat pragmatisme, Intelektual tak pernah bisa dilibatkan secara serius menata perubahan, ia hanya dilibatkan dalam urusan memenangkan kekuasaan, bukan memenangkan gagasan.

Dengan demikian Dimensi keterlibatan kaum intelektual dalam politik mestinya bersinggungan dengan upaya pembangunan gagasan serta pembelaan terhadap msayarakat yang dipinggirkan oleh kebijakan yang dibuat dalam arena politik,  dalam arena politik itulah intelektual harus menjadi fraksi perlawanan atas dominasi hegemonial-kapital-politik yang saling menopang, ia harus mengada dalam politik sebagai pambawa misi perubahan yang tertindas. Sebab Praktik kekuasaan politik yang sangat determinan dalam memproduksi kebijakan yang tidak populis, tidak menyentuh subtansi harapan rakyat, bagi kaum intelektual harus dibongkar, relasi kebijakan dan rakyat  adalah dua persinggungan yang tidak boleh saling melepaskan, meniadakan, atau  bahkan mengeksploitasi rakyat.

Intelektual Dan Pilkada

Bagi Bordieu hubungan intelektual dengan kekuasaan politik terjadi ketika kekuasaan politis berupaya mencari masukan-masukan dari pemikir intelektual untuk menjalankan kekuasaan ataupun merebut kekuasaan, namun ia dibatasi hanya sebagai masukan untuk kekuasaan politis, dalam pembatasan itu, kekuasaan politis memberikan “insentif” bagi intelektual agar bekerja sama untuk membentuk kekuasaan simbolis atas apa yang mereka perbuat.

Kerja sama tersebut membuat Intelektual yang sering dijadikan fraksi terdominasi dari kekuasaan, perlahan  mulai merangkak, berlari melaju jauh keluar dari tugas universalnya dalam menjaga kebenaran dan berada dalam barisan kelompok tertindas. Pembentukan Status quo dan perebutan kekuasaan pun akhirnya melibatkan kelas yang katanya sebagai corong wacana perubahan bagi masyarakat.

Kekuasaan dan politik mulai  membentuk identitas baru intelektual, perebutan reputasi sebagai kelas intelektual mulai diperoleh dengan jalan legitimasi politik praktis, gejala ini semakin akut dalam ruang demokrasi-prosedural (Pilkada) sebab intelektual merasa menemukan jati dirinya dalam arena tersebut (aku ada karena aku berpolitik) padahal keberadaannya sangat dibatasi dan tak bisa mengajukan gagasan secara jernih, kehadirannya hanya menjadi simbol pembenaran untuk meraih simpati, dan memanipulasi kesadaran masyarakat, panggung politik menjadi  pementasan diri untuk memperlihatkan bahwa ia terlibat memberikan dukungan, kaum intelektual mulai menokohkan dirinya bukan dengan jalan-jalan intelektual pada saat itu benarlah yang dikatakan Fredric Jamerson tentang penjelmaan intelektual bahwa “intelektual selalu merupakan intelektual politis”

Bagi Antonio Gramsci “semua orang adalah intelektual namun tidak semuanya memiliki fungsi intelektual, Gramsci ingin mengatakan kepada kaum intelektual bahwa intelektual yang tidak organik adalah intektual yang yang sifatnya hanya melayani “Fungsi politik-Pragmatisme” tidak bergerak pada ruang pemanusiawian kebijakan, bahkan kerap dalam arena pilkada nalar kritis yang terbangun beberap tahun silam terbujur kaku, lalu kaum intelektual bergegap gempita saling menyerukan nalar memilih siapa, kubu intelektual pun terpecah; kami yang terbaik.

Fakta-fakta sosial gerakan kaum intelektual  ini kerap muncul disebabkan  tidak adanya ruang reflektif- sosio-historis itu sendiri. Dalam ruang reflektif sosio historis tersebut bagi Bourdieu intelektual mempunyai otoritas untuk melakukan refleksi atas realitas yang dihadapi, intelektual pun harus mempunyai tanggung jawab moral atas penciptaan realitas sosial yang terjadi sebab bagi Bourdieu intelektual menanggung kepentingan universal mempertahankan kebenaran dan keberpihakan pada yang tertindas, bukan pada elit yang selalu melakukan dominasi dalam kepentingan ekonomi.

Oleh: Kaharuddin Anshar (Komisioner Bawaslu Kabupaten Luwu)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top