OPINI

Jokowi, Intermeso Politik Mematikan bagi Prabowo

OPINI | LAGALIGOPOS.COM – Hingga akhir 2011, tidak ada bantahan bahwa Prabowo ialah calon pengganti terkuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia dianggap sebagai antitesis yang tepat terhadap kepemimpian lembek SBY. Rezim politik yang telah menyandera dirinya dengan koalisi politik yang berlumuran korupsi. Wajah Prabowo yang menyiratkan ketegasan seolah menjawab kerinduan politik sebagian publik Indonesia. Saat itu, popularitas Prabowo berada di titik tertinggi.

Namun, musim pancaroba politik menerjang dengan cepat. Pada kuartal terakhir 2012, bandul politik mulai menjauh dari Prabowo. Elektabilitas politik yang signifikan tidak lagi ada pada genggamannya. Seolah, sang jenderal meniti jalan sepi politik. Sedikit demi sedikit, dia mulai kehilangan keterpesonaan publik, ketika pada saat yang sama, publik mulai jatuh hati kepada Jokowi. Gubernur Jakarta itu menjawab rasa kangen politik publik Indonesia tentang pemimpin yang mau jadi bagian dari keseharian hidup mereka.

Lubang hitam

Di hari-hari ini, ketika serangan terhadap Prabowo-berpangkal pada kisah suram perusakan kemanusiaan–dianggap sebagian kalangan sebagai ulang tutur yang membosankan, mesti ada keteguhan untuk melawan arus semacam itu. Lebih daripada sekadar perlawanan politik, penolakan terhadap Prabowo merefleksikan keyakinan kuat akan konstruksi psikososiologis kekuasaan. Yang dilawan ialah regenerasi perilaku kekuasaan masa lalu yang sewenang terhadap kemanusiaan demi ambisi politik. Prabowo sedang hidup di atas persepsi politik publik tentang lubang hitam sejarah masa lalu.

Jemma Purdey (2006) dalam karyanya, Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999, mengupas posisi sentral militer Indonesia dalam kawah kekerasan etnik paling parah sepanjang sejarah keindonesiaan. Prabowo adalah salah satu tokoh sentral dalam diskursus kekerasan itu. Di antara kebenaran dan kepalsuan, sebelum keduanya terpecahkan, persepsi publik sedang mengadili Prabowo sebagai penjahat HAM. Prabowo perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pembersihan etnik dan penculikan aktivis demokrasi. Ini bukan hanya untuk kepentingan pencapresannya, melainkan juga untuk kepentingan bangsa.

Diana Sayed (2012), fellow di Human Rights First, menulis kisah kembalinya Prabowo ke kancah politik Indonesia pada dua sisi suasana batin publik. Pertama, sesudah sempat menghilang dari peredaran pada masa-masa sulit transisi politik nasional pascakeruntuhan rezim sang mertua, dengan sisa impunitas politik dan hukum sebagai tokoh militer penting, Prabowo tampil melalui sejumlah gerakan politik dan kampanye ekonomi yang mencuri perhatian publik beberapa waktu sebelum Pemilu 2009. Kemunculannya dianggap sebagai salah satu fenomena paling mengejutkan pada sesi kedua kepemimpinan SBY. Kehadiran Partai Gerindra yang berhasil `mengekor’ di belakang PDIP membantu terbangunnya posisionalitas politik Prabowo. Kedua, sejumlah kalangan terus menganggap sejarah gelap masa lalu tetap mengikat kaki politik Prabowo.

Analisis terbaru dan memukau ialah karya Gerry van Klinken, seorang ahli Indonesia dari KITLV dan University of Amsterdam dalam Inside Indonesia edisi 116, April-Juni 2014. Di situ, Klinken mengulas posisi Prabowo dalam persoalan HAM masa lalu. Dengan benderang dan berani, pada artikel berjudul `Prabowo and Human Rights’, Profesor Klinken menaruh sebuah kalimat pendek di bawahnya;`Jakarta 1998 was bad, but Prabowo likely has more likely has more blood on his hand in East Timor’.

Kalimat itu secara sederhana menyiratkan satu konklusi penting bahwa Prabowo ialah bagian dari historiografi kekerasan masa lalu, terlepas dengan dan sebesar apa pun bagian keterlibatannya. Publik Indonesia harus menatap kenyataan ini dengan berani agar dapat menentukan pilihan-pilihan politik beradab untuk Indonesia masa depan.

Triangel politik

Sesudah PDIP menangguk tidak lebih dari 20% suara pada pemilu legislatif, sejumlah suara sumbang tentang Jokowi effect mengemuka dengan deras. Kesimpulannya singkat dan jelas. Jokowi effect tidak memperlihatkan kegarangannya di pileg April lalu. Jika harus berpikir sebaliknya, benarkah PDIP akan memenangi pileg tanpa memasang Jokowi sebagai capres beberapa waktu sebelumnya. Washington Post (19/3/2014) menulis tentang Jokowi effect beberapa minggu sebelum pileg lalu.

Pemilu 2014 harus memperhitungkan Jokowi effect. Bukan saja pada tataran suprastruktur politik, melainkan juga pada akar rumput yang merindukan perubahan politik, yang bosan menikmati elitisme kekuasaan.

Bukan rahasia lagi, Jokowi selalu merajai survei politik. Kemunculannya melebihi basis keterpesonaan politik publik yang diberikan kepada Prabowo sepanjang periode 2009 hingga 2011. Ada triangle politik yang membentuk basis kandidasi Jokowi. Pertama, Jokowi adalah antitesis dari kecenderungan munculnya kekuasaan yang berbalutkan kosmetik politik yang menggerogoti fondasi keindonesiaan. Dia seorang pemimpin sederhana yang menjadikannya meroket dalam popularitias politik.

Kedua, Jokowi dianggap sebagai simbol dari solusi bagi sederet problem pelik keindonesiaan. Kesimpulan itu mudah ditemukan. Dia tidak memiliki masalah masa lalu yang suram. Dia tidak sedang berhadapan dengan lengkin gan pertanyaan publik tentang kejahatan kemanusiaan di kesilaman. Dia adalah pemimpin yang telah melatih dirinya dengan persoalan-persoalan yang tersembunyi di akar rumput. Ketiga, Jokowi adalah, di samping banyak kisah suram desentralisasi politik, salah satu kisah sukses terbaik munculnya kepemimpinan lokal yang menembus peta politik nasional. Dia memiliki tabungan politik sedikit lebih nyata dalam mengelola pembangunan dan praksis kehidupan rakyat jika dibandingkan dengan Prabowo dan kandidat lainnya. Jika mampu membangun komunikasi politik dengan para pemimpin politik lokal, Jokowi akan meraih dukungan politik masif.

Pada tiga tahun lalu, publik bertanya, siapakah penantang terkuat Prabowo di 2014? Sepertinya, pada hari-hari ini, baik Prabowo, para pendukungnya, publik Indonesia, telah memperoleh lebih daripada sekadar sebuah jawaban. Saat Jokowi hadir di Jakarta pada 2012, dia dianggap sebagai intermeso politik yang mampu menghibur publik dan membuat rakyat sadar tentang harapan yang masih ada dan tersembunyi di ujung sejarah kepongahan para penguasa. Ditempatkan pada konteks keunggulan Prabowo beberapa waktu silam, intermeso itu sedang menjelma sebagai lawan mematikan untuk sang jenderal. Mungkin, beginilah alam mengendalikan jalan demokrasi.

 

Oleh: Max Regus, Peneliti di The International Institute of Social Studies, Universitas Erasmus, Belanda
Sumber: MediaIndonesia, Edisi 10 Mei 2014
3 Comments

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top