OPINI, Lagaligopos.com – Yasraf menyatakan bahwa dunia politik menampilkan dirinya dalam berbagai wujud penampakan: kebenaran, kepalsuan; permukaan, kedalaman; kejujuran,absurditas, esensi, ironi. Diperlukan metafora untuk memahami makna berbagai penampakan politik yang saling bertentangan itu. Makna politik, menurut alumnus Central Saint Martins College of Art and Design, London ini, dapat dibentangkan melalui metafora cahaya. Cahaya adalah sesuatu yang memberikan penerangan, semacam pelita yang mengantarkan manusia guna mendapatkan pencerahan.
Cahaya adalah sumber penerangan dalam kegelapan meskipun efek penerangan itu sangat bergantung pada intensitasnya, yakni tidak terlalu rendah ataupun tidak terlal tinggi. Iluminasi atau pencerahan (insight) hanya dapat diperoleh dalam intensitas cahaya yang tepat. Begitu pun intensitas cahaya politik yang terlalu rendah atau terlalu tinggi bisa mengakibatkan ketak-tampakan (visionless) ataupun kebutaan politik. Dunia politik adalah dunia yang sangat bergantung pada cahaya itu, yang di dalamnya orang berbicara tentang pandangan (vision), pencerahan, atau iluminasi politik.
Dunia politik pada abad informasi ini merupakan sebuah dunia yang dikelilingi oleh sorotan lampu pijar citra penampakan yang menusuk mata, yang dengan kilaunya membuat buta setiap orang yang menatapnya dan akhirnya menggiringnya ke dalam kondisi “ketidakmelihatan”. Inilah politik di dalam dunia kepenuhan: kepenuhan tanda, citra, repertoire, gaya, trik, komunikasi, informasi, meskipun kepenuhan itu sekaligus adalah kekosongan: kekosongan makna, ketiadaan kedalaman, dan kehampaan nilai-nilai.
Dunia politik kini dipenuhi oleh berbagai bentuk citra penampakan luar, yang menciptakan ada politik sebagai ontologi citra (being images). Ada dalam wujud citra itu adalah ada yang ironis—ada yang sekaligus ketiadaan. Politik ada dalam wujud citra, tetapi citra itu sekaligus merupakan selubung penutup dari keberadaan yang sebenarnya. Penampakan luar politik (berupa citra) adalah bentuk keberadaan yang bersifat menyembunyikan. Menurut Yasraf, melalui berbagai strategi penampakannya yang mempesona, politik citra seakan-akan berpretensi menampilkan kebenaran, padahal penampakannya itu adalah penampakan halusinasi yang menyesatkan (halaman 382).
Dengan analisis-analisisnya ini, Yasraf sebenarnya menengarai momen-momen kebenaran yang telah digantikan oleh citraan-citraan, sehingga politik akhirnya terperangkap didalam permainan bebas citra dan teks. Dengan demikian politik telah kehilangan pondasinya. Penciptaan citra dan manipulasi teks dilakukan demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri. Inilah komentar Haryatmoko terhadap buku Yasraf ini dalam kata pengantarnya (halaman xxviii).
Lebih lanjut Haryatmoko menyatakan bahwa buku ini yang dengan jitu menggunakan kata “Transpolitika” sebagai judulnya, sebenarnya akan mengungkapkan empat hal. Pertama, persilangan politik dan media, politik dan dunia hiburan, politik dan seksualitas. Kedua, perselingkuhan antara politik dan hukum, politik dan ekonomi, komoditi dan agama; aspek inilah yang akan menjelaskan premanisme ekonomi, imagologi hukum, citra keadilan, komersialisasi hasrat, dan populerisme agama. Ketiga, istilah “transpolitika” juga ingin memberi ilustrasi dunia yang tidak mengenal sekat-sekat lagi antara ruang publik dan privat, dunia anak dan orang dewasa, batas laki-laki dan perempuan, pencairan disiplin, dan pembongkaran kategori. Keempat, tidak bisa dibedakan lagi antara otentisitas dan artifisial, figur yang berdasarkan imagologi dan rekayasa elektro-digital, identitas politik bersifat jamak dan mengapung. Yasraf dengan sangat jeli membidik tema ini dari aspek yang menjadi motor penggerak era virtualitas (yang mengandalkan tanda dan citra), yaitu media massa.
Transpolitika itu sendiri berarti persilangan dan simbiosis prinsip, cara, dan strategi politik dengan prinsip, cara, dan strategi bidang-bidang lain di luarnya seperti media, budaya populer, dan seksualitas, yang membuat kabur prinsip politik itu sendiri. Transpolitika atau perselingkuhan politik ini dimungkinkan terbentuk disebabkan longgar atau lenturnya batas-batas yang selama ini memisahkan berbagai segmentasi dunia kehidupan. Dengan mengutip karya Giles Deleuze dan Felix Guattrari, A Thousand Plateaus: Capitalism & Schizophrenia, Yasraf menyatakan adanya segmentasi-segmentasi tersebut.
Pertama, segmentasi linier, yaitu segmentasi berdasarkan pembagian garis lurus, dari satu ruang ke ruang lainnya secara vertikal mengikuti alur atau panah waktu; misalnya pembagian alur hidup dari lahir, anak-anak, sekolah, dewasa, bekerja, berumah tangga, mempunyai anak, menua dan akhirnya meninggal. Kedua, segmentasi sirkuler, yaitu segmentasi mengikuti model sirkuler yang terbentuk atas daerah pusat, lingkar dalam, lingkar luar, dan seterusnya; misalnya pembagian wilayah menjadi pusat, sub-urban, pinggiran, luar kota, dan seterusnya. Ketiga, segmentasi horizontal, yaitu segmentasi berdasarkan prinsip pembagian bidang datar; misalnya pembagian rumah berdasarkan kamar-kamar, pembagian negara menjadi provinsi-provinsi, dan seterusnya (halaman 5).
Keterbukaan, kebebasan, dan transparansi yang mewarnai dunia dewasa ini telah memperkaya permainan yang ditawarkannya, telah menciptakan semacam pergerakan ke dalam berbagai bentuk pencampuran, persenyawaan, hibridasi, amalgamisasi, yang membentuk transpolitika. Perkawinan silang di antara berbagai entitas tersebut menghasilkan berbagai bentuk hibrid. Hibriditas ini tentunya tidak hanya pada tingkat fisikal, tetapi juga pada tingkat simbolik. Misalnya, polisi hibrid, yaitu polisi yang secara semiotik mengombinasikan tanda-tanda positif pengabdian, perlindungan, dan loyalitas dengan tanda-tanda negatif penipuan, pemerasan, dan pencurian. Ada politisi mutan, yaitu politisi yang telah berubah wujud menjadi seorang pedagang, yaitu memperdagangkan ide-ide politik dalam rangka mendapatkan kekayaan ekonomi, bukan kedudukan politik semata. Dunia politik kontemporer dibentuk oleh berbagai bentuk pelintasan, persilangan, persinggungan, bahkan percampuran dari beberapa dunia didalam dunia yang sama, yang membentuk kategori-kategori dunia baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Review Buku Yasraf Amir Piliang: Transpolitika, Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas
Oleh: Nurhadi