OPINI | Pada 9 Juli 2014, tuntas sudah kelelahan itu. Memang tidak ada jaminan bahwa semua kebisingan akan mereda saat kita keluar dari bilik suara. Hanya, setidaknya, bilik suara menjadi semacam “ruang jeda”. Dalam ukurannya yang sangat sempit, di balik bilik suara sekerjap kita dapat menemukan kata “merdeka”. Bukankah di dalamnya sejenak kita mendapat kebebasan untuk ikut andil menentukan nasib bangsa lima tahun kedepan, yang sebenarnya belum jelas pula terbaca.
Kemarin, dalam masa kampanye kurang lebih satu bulan itu, betapa susah kita mendapat ketenangan, yang dengan begitu menjadi tidak ditemukan juga kemerdekaan, untuk sekedar bisa berpikir jernih, apalagi berefleksi. Demokrasi konon memberi siapapun bebas berbicara. Dan kita sudah mendapatkanya, bahkan dalam porsi yang sangat berlebihan. Tapi, barangkali sebab itu pula, di tengah lalu-lalang yang berbicara, kita tidak mampu mendengar suara dengan jelas. Keberlebihaninformasi ternyata telah membunuh informasi itu sendiri. Kita mengalami fatalogi informasi.
Informasi yang fatalogik adalah ketika ia justru menimbulkan kebingungan, bahkan kecemasan. Kita menjadi cemas menentukan pilihan sebab suara-suara yang menggoda, suara-suara yang sebenarnya tidak pernah bisa dilacak sumbernya. Suara-suara itu menjelma “rangda”, makhluk ganas yang menakutkan. Kalau Anda pilih si A maka negeri ini akan menjadi kafir, sedangkan jika memilih si B bangsa akan porakporanda. Jangan pilih si pulan sebab ia Dajal. Kita pun menjadi panik. Dan dalam kepanikan sedemikian kita memihak. Kita memihak bukan semata ada yang ideal di tubuh yang dipihaki, melainkan ada ketakutan yang diciptakan. Entah oleh siapa. Kita tidak sempat berpikir.
Itulah fakta tidak terelakkan dari sebuah bangsa yang karakternya tidak kokoh—jika tidak mau dikatakan tak berkarakter. Itulah fakta bahwa pendidikan di negeri ini telah gagal total secara substansial. Bagaimana tidak bisa disebut demikian karena tiba-tiba kita menjadi bangsa yang “tunaaksara”, masyarakat lisan primitif yang pengetahuannya bergantung kepada suara (Walter J. Ong, 2004 ). Lihatlah, sebatas mana kita mengelaborasi fakta tekstual visi-misi kedua capres, misalnya. Lihatlah, sebatas mana kita fokus pada konten debat. Kita tidak menemukan kajian atas keduanya. Kita hanya mendengar tepuk tangan dan teriakan yel yang membabi buta. Sang calon pilihan tidak pernah salah, sedangkan lawan adalah sumber kebathilan. Itulah yang harus terus-menerus disuarakan, lewat tepuk tangan!
Kita maklum bahwa setiap kompetisi selalu meminta strategi, membutuhkan taktik agar lawan segera terkalahkan; jika bisa dibuat terpelanting sebelum bertanding. Tapi, apakah kita temukan itu dalam kampanye kemarin? Saya pikir, tidak. Di sana-sini kita lebih banyak menemukan pecundang, yang menyalakan obor untuk menimbulkan jelaga, bukan untuk mengirim setitik saja cahaya. Maka lihatlah, betapa hitam wajah politik di negeri ini, hitam mengalahkan kampanye hitam. Barangkali seluruh tubuh politik kita adalah kampanye hitam itu sendiri. Bukankah juga fitnah ketika yang dipuja dibuat putih melampaui putihnya putih. Dan pada saat yang sama mendefinisikan yang lain sebagai hitam. Maka begitulah, kita pun memihak yang satu dengan mencerca yang lain.
Cinta Sebagai Fondasi Revolusi
Tapi, semoga 9 Juli 2014 bisa menjadi pembendung untuk semua laku memilukan itu. Mengutip Anies Baswedan, usia berbangsa kita yang masih sangat panjang kedepan, janganlah ditukar dengan umur pilpres yang hanya sebulan. Lihatlah, keegoan kita kemarin telah melupakan satu hal, yakni CINTA, baik kepada sesama, dan yang terpenting, kepada bangsa dan tanah air yang konon hendak kita bela itu. Bahkan, jangan-jangan, semuanya telah menanggalkan cinta kita kepada Tuhan. Bukankah dukungan yang berlebihan terhadap capres-cawapres tertentu telah memunculkan apa yang disebut fetisisme modern. Kita telah menjadi pemuja, menjadikan sang pujaan seolah-olah Dewa. Kita yang mendefinisikan diri sebagai masyarakat yang religius tiba-tiba menjadi jauh dari Yang Kudus. Merujuk kepada John D. Caputo (2003), kebalikan dari manusia religius adalah manusia tanpa cinta. Maka jangan sampai hal itu terjadi. Sesuatu yang melampaui batas pastilah takwaras. Bukankah itu yang dilakukan rakyat Soddom dan Gomorra sehingga Tuhan mematrinya di laut mati.
Oleh sebab itu, kita harus menahan diri. Merujuk kepada semiotika Charles Sanders Peirce (dalam Short, 2007), perang ego dan pemujaan yang menimbulkan kebisingan pada satu bulan terlewat kemarin hendaknya dihentikan derajatnya pada titik sinsign (tanda yang hanya mendekati kebenaran), tidak berlanjut menjadi legisign (tanda yang definitif). Caranya, saat pilihan dijatuhkan di bilik suara, saat itu pula kita mesti tusukkan sebuah sumpah: Cintalah yang kita pilih. Hal ini, saya pikir, yang meniscayakan kita akan keluar dari bilik dengan sumringah, dengan wajah penuh kasih. Kita tuntaskan kecemasan di situ. Semua kegelisahan telah larung ke hilir. Dan esok kita siap menerima “aliran baru” dari hulu, apapun, dengan hati yang jernih.
Kesadaran demikian terutama harus dimiliki oleh para capres dan petinggi-petinggi politik di lingkaran terdekatnya. Ini adalah ujian. Nanti rakyat akan bersaksi sebatasmana mereka memiliki ketulusan untuk memimpin seperti yang selalu digembor-gembotkan dalam kampanye. Apakah cinta mereka kepada bangsa dan tanah air betul-betul untuk bangsa dan tanah air, bukan untuk diri dan kelompok mereka sendiri. Jika kalah, pihak yang mempersonfikasikan dirinya sebagai “yang tegas” mampukah tegas pada dirinya sendiri, melesapkan “sakit hati kekalahan” sehingga tidak mencari-cari kesalahan. Hal yang sama tentu harus ditunjukkan oleh pihak yang menampilkan dirinya sebagai “yang sederhana”: sebatasmana kekalahan bisa disikapi sebagai sesuatu yang sederhana pula.
Untuk hal tersebut, hemat saya, tidak ada cara lain kecuali pada 9 Juli semua pihak harus pergi ke balik bilik suara dengan bekal kasih. Bilik suara yang ukurannya mungkin kurang dari satu meter persegi itu mesti menjadi pijakan awal ke arah revolusi mental. Revolusi adalah jiwa, sebuah gelora di dalam diri yang terus-menerus meronta untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, demikian kurang lebih inti pemikiran Sukarno. Dan hal ini baru bisa terjadi jika fondasinya adalah cinta. Tidak ada kebaikan apapun tanpa cinta. Maka mari memilih dengan kasih.
Oleh: Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB Sumber: Warungnasi.com