OPINI

Mitos Kesejahteraan Tambang Emas Rampi

OPINI | Geliat pembangunan khususnya sektor pertambangan kini santer dikabarkan melalui media cetak, katanya “39.000 Ha lahan di Rampi siap hasilkan emas”. Sebuah ironi saat geliat pembangunan itu disandarkan pada sektor pertambangan yang nota benenya merupakan sektor yang memanfaatkan sumber daya alam yang tidak terbarukan dalam proses produksinya. Kebijakan eksploitasi pertambangan emas sesugguhnya bertolak belakang dengan sektor basis ekonomi kabupaten yang masih membutukan perhatian lebih, berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) sektor pertanian merupakan sektor basis yang sampai pada saat ini tidak di maksimalkan potensinya.

Rampi merupakan salah satu kecamatan yang berada dalam wilayah administratif Kabupaten Luwu Utara, berada pada ketinggian 1635 Mdpl dan sebagian besar hutan di kecamatan ini merupakan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung dan menjadi sumber mata air, yang menjaga kontiunitas air yang mengalir di sungai Rongkong, dimana air itu banyak dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat, baik itu kebutuhan air irigasi lahan-lahan pertanian, sumber air baku serta untuk keperluan sehari hari masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran sungai. 39.000 Ha lahan dipersiapkan untuk ekspolitasi pertambangan emas, lahan itu sendiri terdiri dari perkebunan, permukiman dan juga hutan.

Begitulah, atas nama pembangunan kurang lebih 39.000 hektar hutan akan digunduli, gunung-gunung akan dikeruk, dan sungai-sungai kekurangan airnya. Tentu masyarakat kecil yang dirugikan oleh ulah perusahaan-perusahaan yang tak bertanggungjawab. Dari sana akan muncul berbagai macam bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, bahkan bencana permanen seperti kasus Lumpur Lapindo yang merusak kehidupan warga Sidoarjo.

Benarlah  pendapat ed Begley Jr. ketika ia mengatakan, “Saya tidak mengerti mengapa ketika kita menghancurkan sesuatu yang dibuat oleh manusia kita sebut sebagai vandalisme, Tetapi ketika kita menghancurkan sesuatu yang dibuat oleh alam kita sebut sebagai pembangunan.”

Tak salah jika ada pepatah yang mengatakan “memiliki kekayaan tambang ibarat memiliki surga sekaligus menggenggam nereka” pandangan positif pembangunan tambang emas di Kecamatan Rampi tampaknya bertabrakan dengan resiko dan dampak negatifnya, kerena memberikan efek domino negatif terhadap sektor lainnya seperti sektor pertanian. Relasi masyarakat rampi dengan alam dan seluruh warisan pusaka pertanian dan artefak akan musnah diganti dengan sifat kerakusan dan pemerkosaan terhadap alam yang direpresentasikan oleh pembangunan tambang emas.

Dampak negatif pembangunan tambang pada suatu saat nanti akan menelanjangi wajah indahnya dan menunjukkan wajah aslinya sebagai proyek-proyek khusus dari kapitalisme yang mencengkram. Menjadi sebuah ironi, pembangunan yang “dielu-elukan” telah menjadi racun bagi kelangsungan hidup manusia yang secara hakiki sudah kaya dan sejahtera dengan memanfaatkan alam secara arif dan bijak.

Sebagai alat penunjang pembangunan pertambangan memiliki kontribusi besar dalam merusak ekosistem alam sampai saat ini, Ia melanggar integritas sistem-sistem organik yang saling berkaitan dan saling bergantung. Pertambangan sebagai alur pembangunan banyak di elu-elukan oleh orang berkempantingan untuk menyebar isu “kesejahteraan” Sesungguhnya pertambangan secara langsung, akan membunuh karakter natural masyarakat itu sendiri untuk bertahan hidup dengan cara yang semestinya.

Pernyataan diatas jelas memiliki dasar, Hendra Tri Ardianto dalam tulisannya yang berjudul “Mitos Kesejahteraan Melalui Pertambangan” telah membuktikan sesungguhnya pertambangan untuk kesejahteraan hanyalah sebuah mitos. Dengan mengutip sebuah laporan dari Oxfam yang berjudul “Digging to Development A Historical Look at Mining and Economic Development”, Hendra menerangkan sesungguhnya pertambangan tidak banyak memberikan dampak positif bagi sebuah negara. Laporan Oxfam, menunjukkan bahwa pendapatan daerah di beberapa wilayah di Amerika Serikat, Canada dan Australia akibat pertambangan tidak lebih besar dari pendapatan dari pertanian. Selain itu, perkembangan ekonomi lokal di sekitar daerah pertambangan bukan karena dampak pertambangan itu sendiri. Artinya pertumbuhan ekonomi di daerah tambang lebih lambat jika dibanding dengan daerah yang tidak memiliki sektor pertambangan.

Maka sudah semestinya kita tak boleh bercerai dengan alam, jangan sampai kepentingan sesaat kita ini merusak kebutuhan dimasa akan datang oleh generasi pelanjut kita. Kesejahteraan yang ditawarakan melalui ekspolitasi tambang emas rampi sesunguhnya hanyalah isapan jempol belaka.

Oleh: Radinal Jayadi, Penggiat sosial, ekonomi, politik

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top