OPINI, Lagaligopos – Teknologi adalah kado paling istimewa yang hadir dalam sejarah manusia moderen. Teknologi seakan menjadi hal wajib yang menemani seluruh aktifitas keseharian, membentuk identitas, sikap politik, dan merajut lahirnya berbagai jenis budaya artifasial.
Teknologi hadir menopang ekonomi, menguak sejarah, membantu pengobatan, mempermudah interaksi sosial, mengintip rahasia langit, melipatgandakan hasil pertanian, memetakan kekuatan politik dengan cepat.
Hingga hari ini, kemudahan-kemudahan yang ditawarkan teknologi seperti belanja online, conference, kelas online, perlahan tapi pasti menggiring seluruh sendi kehidupan zaman menuju logika kecepatan (Dromology).
Secara harfiah Dromologi merupakan proses percepatan kehidupan. Dromos berarti berlari kencang dan Logos merupakan ilmu atau kondisi (Paul Virilio: 1991). Mesin kecepatan seperti “speed dial” pada telepon atau “remote control” seakan menjadikan manusia malas untuk bergerak dan berproses lama-lama.
Dromologi Politik
Kedahsyatan teknologi informasi yang begitu cepat diperagakan media informasi telah melahirkan fakta baru yang disebut “dromologi politik”. Dalam salah satu teori sosialnya, Paul Virilio (1991) menjelaskan, dromologi hakikatnya merupakan proses percepatan kehidupan, sebuah fenomena percepatan kultural.
Dromologi dikenal sebagai model politik yang dikuasai oleh kecepatan, sebuah model politik yang dibangun diatas prinsip kecepatan dan percepatan. Paul Virilio dalam Lost Dimension (1991) menjelaskan, dalam dunia yang dikuasai kecepatan, peran politik ruang (geo-politics) telah diambil alih oleh semacam politik waktu (chrono politics), yang di dalamnya kecepatan, percepatan, dan tempo kehidupan yang semakin cepat telah mengharuskan setiap orang untuk hidup dan bertahan dalam sebuah mesin dunia yang berlari kencang (dromology machine).
Dromologi media dalam gelanggang politik, pada kenyataannya tidak mampu meningkatkan kualitas dan nilai-nilai luhur politik, bahkan semakin menghancurkannya. Dromologi politik yang dicirikan dengan kepanikan, ketergesah-gesahan, instan, dan ketidak-sabaran akan menghancurkan nilai luhur politik itu sendiri. Perenungan, kearifan, kualitas, makna, dan kematangan tidak memiliki tempat dalam sebuah dunia politik yang berlari kencang.
Pada titik inilah terjadi “kecelakaan demokrasi”, dimana akan bermunculan aktor-aktor politik minim pengalaman, labil, dan miskin pengetahuan politik sehingga tak punya acuan, kesadaran dan orientasi pasti dalam menyumbangkan peran untuk pengkayaan kualitas demokrasi.
Karena persepsi, kesadaran, dan kultur politik yang berlari kencang, muncullah slogan dan trik politik yang menggelikan, seperti “serangan fajar”, “aku muda aku bisa”, “lebih cepat lebih baik”, “semangat baru”, Don’t Stop Komandan”, yang dikemas dalam paket-paket komunikasi politik “ringkas”, “hemat”, “dangkal”, “cepat saji”, dan tentunya tidak sehat.
Karena itu, dunia politik kita harus segerah diobati akibat luka parah yang telah melemahkannya. Semua pihak dan siapa saja kini harus menyadari kenyataan bahwa kita sudah sangat lelah dengan kondisi seperti itu. Jika tidak ada tokoh politik yang bisa dipercaya, jika tidak ada tokoh agama yang mampu membimbing, jika tidak ada intelektual yang mampu mencerahkan, maka “kesadaran” kita masing-masing adalah pencerahan paling murni yang bisa menjadi jembatan emas memasukkan kembali nila-nilai luhur politik melalui aneka tindakan nyata dalam keseharian kita. Karena jika tidak, selamanya kita akan selalu menyantap hidangan politik “cepat saji” yang tidak sehat.
Oleh: Aswan, Dosen Komunikasi UIN Alauddin Makassar