OPINI, Lagaligopos.com – Di pengujung tahun 2013, kepercayaan publik terhadap politik berada di titik terendah. Bagaimana tidak? Politik sudah kehilangan kebajikan (phronesis) sebagai pilar utamanya.
Berduyun-duyun politisi memasuki jeruji besi karena korupsi. Lembaga politik seperti DPR lebih banyak bertransaksi ketimbang berdiskusi. Kasus terakhir yang menimpa gubernur Banten memperpanjang deret kemuraman politik republik ini. Pertanyaannya, apakah kita serta-merta perlu mengenyahkan politik dari hidup bersama ini? Jika kepercayaan publik terhadap politik sedemikian rendah, apakah urusan bersama perlu kita serahkan pada sesuatu yang lebih tidak berisiko?
Kegalauan politik
Kegalauan terhadap politik biasanya memunculkan inisiatif teknokratisasi. Orde Baru adalah kasus historis yang menarik. Merespons Orde Lama yang sepenuhnya politik, Orde Baru pun menarik politik perlahan-lahan dari urusan bersama. Proliferasi ideologi politik direduksi melalui fusi partai politik. Tujuannya jelas. Teknokrasi tak membutuhkan ideologi, tetapi teknisi. Kenaikan harga kebutuhan pokok tak dapat diselesaikan oleh ideologi, tetapi oleh kebijakan ekonomi yang terukur. Alhasil, demokrasi digeser dari ”pemerintahan oleh partisipasi” menjadi ”pemerintahan oleh teknisi”.
Dicabutnya politik dari urusan publik memang membuahkan hasil yang memuaskan. Pertumbuhan ekonomi merangkak naik. Kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan tanpa gangguan oposisi. Ekonomi pun diselamatkan dari ”kecerewetan politik” yang berlebihan. Ekonomi menjadi panglima. Garis besar haluan negara disesaki visi-visi ekonomi berbasis stabilitas politik. Orde Baru sungguh membawa biduk republik ini ke dermaga baru, dermaga ekonomi.
Apakah kegalauan terhadap politik di pengujung tahun ini juga akan menghasilkan gejala yang sama seperti di permulaan Orde Baru? Saya memperkirakan itu bakal terjadi jika tidak ada perubahan fundamental di dalam tubuh politik itu sendiri. Seluruh keburukan politik akan sempurna jika republik ini gagal memakai demokrasi untuk menghasilkan politisi yang bajik. Persoalannya, demokrasi tidak lebih dari penghitungan suara, sedangkan suara sendiri merupakan fungsi dari kapital di epos politik citra dewasa ini.
Ketidakpercayaan terhadap politik akan paripurna jika pemenang pemilu tahun depan adalah kapital, bukan demos. Politik bukan lagi ruang bagi rakyat memperjuangkan kedaulatannya. Politik menjadi panggung tempat kapital beradu demi kekuasaan. Kita tidak lagi menyaksikan kesederhanaan dalam politik. Politik menjelma industri baru bernilai ratusan miliar rupiah. Politik tak lebih dari perayaan kaum berpunya, bukan lagi persembahan untuk mereka yang papa.
Memang, kerusakan politik di epos Reformasi berbeda dengan yang terjadi di Orde Lama. Di epos Reformasi kerusakan sepenuhnya disebabkan menyelinapnya kalkulasi kapital ke dalam cara kerja politik. Sementara, yang terjadi di Orde Lama semata-mata disebabkan kegerahan kaum teknokrat terhadap kebisingan politik yang mubazir. Namun, sebab yang berbeda dapat menghasilkan keluaran yang sama: tersisihnya politik dari urusan publik. Apa yang menanti di pengujung jalan antipolitik adalah ekonomi. Ekonomi dengan sederet diktum kebijakannya membutuhkan jalan bebas hambatan politik. Ketidakpercayaan publik terhadap politik bakal menempatkan ekonomi kembali sebagai panglima dengan teknokrat sebagai hulubalangnya. Orde Baru bisa berulang dalam kemasan yang sedikit berbeda.
Antipolitik
Kegagalan politik menjalankan fungsi-fungsi tradisionalnya dapat membuahkan gelombang antipolitik yang berbahaya. Gawatnya, indikasi-indikasi kegagalan politik bahkan sudah tercium dari sekarang. Korupsi yang dilakoni para politisi hanya satu dari sederet indikator kegagalan politik yang ada. Dalam urusan pangan, misalnya, politik yang dijalankan adalah politik ketahanan pangan yang mementingkan stabilitas pasokan, bukan kedaulatan petani. Stabilitas pasokan bisa dilakukan melalui impor yang sarat kolusi. Sementara subsidi terhadap pertanian lokal justru dipangkas sedikit demi sedikit.
Mengapa kebijakan politik bisa menjauh dari harkat dan martabat orang banyak? Filsuf Hannah Arendt menawarkan tiga musabab utama. Pertama, kebangkitan yang sosial. Kebangkitan yang sosial adalah kontaminasi politik yang sejatinya adalah urusan publik oleh oikos atau tata kelola rumah tangga yang melulu pribadi. Politik menjadi semata-mata urusan alokasi anggaran dan administrasi sosial. Keputusan politik tak lagi memerlukan ajudikasi demokratis. Alhasil, politik pun dikerdilkan jadi urusan manajerial belaka.
Kedua, keterasingan dunia. Keterasingan dunia adalah lenyapnya dunia bersama tempat identitas dikonfirmasi dan pengalaman dibagi bersama. Kita kehilangan dunia bersama dan terlempar ke ruang pribadi, ruang introspeksi yang miskin patokan-patokan kolektif. Orang menjalani hidup sekehendak hatinya dan abai terhadap dunia bersama tempat pengalaman dibagi dan identitas saling diakui. Hak atas yang pribadi sungguh telah memutus tali-temali solidaritas. Ketiga, kemenangan kerja atas aksi sebagai tindakan politik. Kerja mengunci manusia pada aktivitas produksi yang mematoknya dalam kategori produsen dan konsumen. Manusia kehilangan singularitasnya. Kerja melahirkan ruang publik bernama pasar yang mana manusia satu sama lain bertransaksi, bukan berkomunikasi. Di pasar tidak ada diskusi tentang bagaimana mengurangi emisi demi keberlanjutan lingkungan hidup. Di pasar orang hanya berjual beli karbon demi mempertahankan tingkat emisi yang dikeluarkannya.
Sementara, politik sejatinya bersandar pada aksi, bukan kerja. Aksi dapat dimengerti dalam dua modus. Pertama, aksi sebagai aktivitas manusia yang menyingkapkan siapa dan bukan apa dirinya melalui transendensi kefanaan dengan suri teladan. Kedua, aksi sebagai modus kebersamaan manusia yang dapat membangun relasi yang didasarkan pada kesalingan dan solidaritas. Aksi adalah tindak komunikasi yang mengakomodasi berbagai pandangan demi keputusan bersama.
Singkatnya, bagi Arendt, politik merosot kedudukannya akibat infiltrasi ”yang pribadi” terhadap ”yang publik”. Infiltrasi ini membuat politik kehilangan ”pendar-pendar sosialnya”. Gejala ini saya sebut sebagai ”teknokratisasi pascaantipolitik”. Pada saat itu, politik tidak lagi dipercaya sebagai panglima. Posisinya digantikan oleh ekonomi. Padahal, logika ekonomi adalah logika distribusi dan harmoni. Ekonomi, saya sinyalir, memuat logika tertib sosial yang patut (proper social order), sebuah gagasan yang tertanam dan ditransmisikan oleh tradisi filsafat Yunani Kuno.
Logika distribusi dan harmoni mementingkan pemilahan bagian dan posisi yang didasarkan pada ruang, waktu, dan jenis kegiatan. Aristoteles, misalnya, mengemukakan bahwa warga negara adalah mereka yang mengambil bagian dalam tindak memerintah dan diperintah. Namun, jenis distribusi lain mendahului sekaligus menentukan partisipasi politik warga negara. Distribusi yang dimaksud menentukan siapa yang memiliki bagian dalam komunitas politik dan siapa yang tidak. Saat ekonomi menjadi panglima, mereka yang berpartisipasi adalah para teknokrat, sementara rakyat banyak dikesampingkan sebagai penonton kebijakan belaka.
Politik, apa pun kemalangan yang tengah menimpanya, harus kembali menempati posisi asalinya sebagai panglima. Namun, sebelumnya, proses infiltrasi ”yang pribadi” terhadap ”yang publik” harus dihentikan. Pemilu tahun depan adalah pertaruhan yang menegangkan. Jika kekuatan kapital berhasil membajak demokrasi untuk kepentingan sektoralnya, maka lonceng kematian politik dipastikan berdentang keras. Apa pun, saya optimistis bahwa kita masih bisa menahan laju depolitisasi ini. ”Tahun-tahun gelap” politik pasti berlalu.
Oleh: Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Politik UI
Sumber: KompasCetak, Edisi 31 Desember 2013