OPINI

Republik Simulakra

OPINI, LAGALIGOPOS.COM – Abad informasi-digital telah mengubah realitas demokrasi kita. Aneka perilaku politik yang tidak terduga dan tidak wajar ditunjukkan di ruang publik digital.

Mulai dari Presiden Joko Widodo yang menelepon anak kecil akibat unggahan tangisannya yang menjadi viral di Youtube; Obama yang “iseng” mengirim surat elektronik stafnya larut malam hanya untuk sekadar bercanda; video viral Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Sumarsono yang menggelar rapat kerja di dalam kereta api; dan aneka tindakan “aneh” para pejabat lain yang terekam media sosial.

Dalam kerja dramaturgi politik yang kini banyak dimainkan di atas panggung media sosial, makna dan signifikasi tindak politik kini mengalami perubahan radikal. Perilaku harian pejabat yang ditampilkan di media sosial menyedot perhatian, waktu, dan kesadaran jutaan orang ketimbang realitas kehidupan nyata di sekitarnya. Nanar oleh kekuatan hipnotis dunia virtual ini, para pejabat dan anak bangsa tak dapat lagi membedakan yang penting/tak penting, benar/salah, berguna/tak berguna, bermanfaat/tak bermanfaat.

Viral-viral citra politik di aneka drama media sosial (medsos) telah menciptakan kondisi yang “melampaui” realitas politik itu sendiri. Keberadaan medsos telah memengaruhi budaya demokrasi res publica yang kini berubah wujud menjadi “demokrasi virtual”, di mana tindakan virtual di medsos mendominasi kesadaran publik. Di dalamnya, komunikasi dan relasi politik tak lagi dibangun di ruang-ruang realitas nyata, tetapi di dalam model-model dramaturgi virtual yang menarasi ulang dunia nyata—political hyperreality.

Hiperrealitas Politik

Realitas politik abad informasi-digital dibangun melalui aneka dramaturgi medsos, yaitu model realitas artifisial di dalam aneka media informasi-digital (simulacra), yang ironisnya diterima sebagai “yang nyata”—the hyperreality of politic. Di dalam realitas media itu,kepalsuan dipahami sebagai kebenaran, rumor ditangkap sebagai informasi, tanda diperlakukan sebagai realitas, dan simulakra diterima sebagai “yang nyata”. Ada jurang dalam antara citra media dan realitas sesungguhnya (Baudrillard, 1983).

Hiperrealitas politik adalah wajah “artifisialitas politik”, yaitu perekayasaan dan dramatisasi realitas lewat teknologi informasi-digital, seakan-akan ia realitas sesungguhnya. Perilaku harian—marah, protes, menangis, mengeluh, bertengkar, gembira—dapat di-setting atau di-settingulang melalui medsos yang boleh jadi tak sama atau berbeda konteks dengan realitas sesungguhnya. Kini, perbedaan antara “realitas alamiah” (natural) dan “realitas buatan” (artificial) kian tipis. Beberapa iklan politik menunjukkan watak artifisialitas ini.

Hiperrealitas politik adalah wujud pelipatgandaan efek politik (multiplying effect), yaitu pembesaran efek dramaturgis politik harian menjadi peristiwa besar, penting, kolosal, signifikan, atau heboh: anak kecil menangis, rapat di kereta api, presiden bercanda. Pembesaran efek ini akibat penyebarluasan peristiwa melalui media sosial dalam waktu cepat, skala besar, dan jaringan luas yang menimbulkan “gaung sosial” melampaui skala peristiwa itu sendiri. Karena itu, citra Jokowi menelepon seorang anak kecil dapat menjadi berita besar-kolosal.

Hiperrealitas politik adalah cermin banalitas politik di mana aneka informasi remeh-temeh, dangkal, ringan, atau tak penting mendominasi kesadaran publik. Ironisnya, informasi banal itu terus berlipat ganda dan menjadi viral di medsos. Dalam banalitas informasi itu, apa pun diubah menjadi informasi, tontonan, atau berita. Tak peduli betapapun banalnya sesuatu, ia tetap menjadi subyek informasi.Ini yang menyebabkan Obama makan kacang mete menjadi viral di media sosial—banality of information.

Hiperrealitas politik adalah potret efemeralitas politik (ephemerality), yaitu tindakan, relasi, atau komunikasi politik yang instan, cair, tak terduga, penuh kejutan, tetapi tak bertahan lama. Motifnya adalah “mencuri perhatian”(seduction) melalui aneka bentuk penampakan luar dan permainan tanda. Seduksi adalah “kekuatan” sekaligus “kelemahan” demokrasi digital, yang fondasinya rapuh, dengan tingkat durabilitas dan konsistensi rendah (Bard dan Soderqvist, 2002). Drama viral anak kecil yang “mencuri perhatian” Jokowi akan segera hilang lenyap, digantikan drama-drama lain.

Hiperrealitas politik adalah lukisan disinformasi politik, yaitu model-model informasi banal yang dikonstruksi di dalam medsos, yang mengambi alih informasi substansial yang diperlukan dalam masyarakat politik. Ironisnya, model-model informasi artifisial dan banal ini kerap digunakan oleh sistem kekuasaan untuk menutupi aneka kelemahan. Topeng informasi ini dapat menciptakan krisis kepercayaan terhadap informasi itu sendiri karena ia dianggap tak lagi mengungkapkan kebenaran.

Politik di era informasi-digital berjalan melalui model temporalitas dramaturgi tanpa kedalaman, yang mengandalkan pada kecepatan informasi dan kesegeraan tindakan. Di dalamnya, paket-paket komunikasi “ringkas”, “hemat”, “cepat saji”, dan tak rumit lebih mendominasi. “Simplisitas” dirayakan di atas “kompleksitas”, yang menciptakan ruang “konstelasi temporer” (temporary constellation), di mana tanda, citra, drama, tayangan, unggahan, dan tontonan muncul serta menghilang dalam kecepatan tinggi sehingga menuntut kerja updating tanpa jeda.

Demokrasi Digital

Aneka dramaturgi dalam hiperrealitas politik telah menciptakan paradoks kultural dalam res publica sendiri. Di satu pihak, ruang-ruang politik virtual di dalam media sosial dianggap dapat menciptakan iklim politik lebih demokratis, di mana kekuatan demosdapat ditunjukkan secara optimum. Optimisme ini tumbuh karena ruang digital-virtual dilihat sebagai “agora elektronik” (electronic agora), di mana warga dapatmenunjukkan kekuatan otonominya sebagai demos, yaitu kekuatan untuk berpikir dan bertindak bagi diri sendiri.

Medsos membuka ruang bagi diskusi terbuka, proses deliberasi, ruang dialogis,dan penentuan diri sendiridemos. Kekuatan teknologi informasi digital membuka ruang bagi “demokrasi hibrid” (hybrid democracy), yang memungkinkan bekerjanya prinsip “representatif” sekaligus “partisipasi langsung” rakyat dalam proses politik melalui media sosial (Haque dan Loader, 1999). Ruang ini (Youtube) yang dimanfaatkan oleh ibu dari anak yang ingin bertemu Presiden untuk berkomunikasi dengan Jokowi.

Medsos dapat mewujudkan kekuatan demos, untuk mengimbangi lembaga demokrasi yang ada (partai, parlemen, ormas). Melaluinya dapat dibangun “kekuatan tandingan” rakyat (counter power) untuk mengawasi, mengoreksi, dan meningkatkan kinerja pemangku kekuasaan: demonstrasi, petisi, dan solidaritas sosial. Hubungan short-cutrakyat dengan pusat kekuasaan ini bisa berfungsi sebagai kompensasi dari tak berfungsinya aparatus dan lembaga-lembaga dalam demokrasi representatif (Rosanvallon, 2008).

Politik adalah perkara subyek dan pembangunan subyektivitas melalui pernyataan (enunciation), ekspresi dan tindakan, serta bagaimana merealisasikannya dalam medan ruang politik nyata. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah aktor utama dalam panggung politik, tetapi sering tak dihitung dan tak mendapatkan posisi di dalam medan dramaturgi politik. Politik adalah sebuah perjuangan dari bawah agar rakyat diperhitungkan dan mendapatkan posisi di panggung dramaturgi politik. Media sosial adalah panggung bagi demos untuk menunjukkan kekuasaannya.

Media sosial memiliki kekuatan ganda sebagai media politik. Di satu pihak, melaluinyasuara rakyat sebagai demos”didengarkan” sehingga rakyat dapat berkomunikasi langsung dengan pusat kekuasaan tanpa melalui perwakilan. Inilah relasi langsung seorang anak dan Jokowi, yang sulit dilakukan dalam ruang politik konvensional. Di pihak lain, melalui media sosial, tindak tanduk dan gerak-gerik penguasa dapat diawasi serta prinsip deliberasi dapat secara maksimal dijalankan. Proses inilah yang dilakukannetizen, yang mendiskusikan, menilai, dan mengkritik rapat pejabat di kereta api.

Meski demikian, hiperrealitas politik dapat pula mengancam prinsip dasar demokrasi itu sendiri karena sifat kesegeraan, disinformasi, banalitas, efemeralitas, dan disinformasi yang melekat di dalam strukturnya. Ia dapat merusak struktur topologis res publica, ruang publik, dan opini publik, karena cara kerja artifisialitasnya dapat membawa informasi dan kebenaran rentan manipulasi. Hiperrealitas dapat membawa pada krisis demokrasi karena membuka jalan bagi bentuk baru “totalitarianisme”: siapa menguasai media informasi, ia yang menentukan kebenaran!

Paradoks Demokrasi

Aneka dramaturgi di media sosial rentan terhadap manipulasi rakyat sebagai “penanda” (signifier) demi aneka kepentingan, termasuk kepentingankekuasaan. Di dalamnya, rakyat bukan menjadi subyek dari “generator makna” (generator of meaning), melainkan medium produksi makna untuk kepentingan pihak lain, termasuk para elite politik dan penguasa (Zizek, 2008). Dalam dramaturgi virtual inilah orang miskin, marjinal, terpinggirkan, atau terabaikan kerap dijadikan penanda oleh penguasa untuk membangun citra politik tertentu.

Media sosial juga rentan terhadap “krisis sosial”, yaitu ketika bentuk-bentuk relasisosial yang alamiah diambil alih relasi sosial artifisial yang dibangun melalui aneka media sosial (simulacra). Melalui simulakra sosial dapat berlangsung aneka reduksionisme, penyederhanaan, generalisasi, dan manipulasi realitas sosial untuk kepentingan kekuasaan. Relasi sosial seorang presiden dengan seorang individu di media sosial boleh jadi dicurigai sebagai cara untuk menutupi ketiadaan relasi sosial dengan rakyat di dunia nyata—the social simulacra.

Media elektronik digital telah mengangkat pula masalah dasar tentang “jarak sosial”. Dunia sosial yang dibangun oleh cara kerja interface menimbulkan paradoks jarak sosial ini: seseorang dapat “dekat” dengan yang lain di medsos, tetapi nyatanya “jauh” di dunia nyata. Rapat pejabat di kereta api yang direkam dan diunggah di medsos dapat dilihat sebagai cara untuk membawa urusan formal ke ruang publik, yang memberikan efek viral dan dramaturgis “keterbukaan” serta “kedekatan” pejabat publik dengan rakyat.

Cara kerja medsos menciptakan pula efek psikologis “kesegeraan”(instantaneous), yang memengaruhi cara kerja kepemerintahan di dunia nyata, khususnya skala prioritas tindakan. Karakter medsos mendorong “perenungan instan”, yaitu peristiwa yang direnungkan, dianalisis, dinilai, dan diberikan keputusan secara instan. Keputusan Jokowi menelepon anak yang menangis mengalahkan kebutuhan prioritas komunikasi lainnya, yang mungkin lebih kritis dan strategis.

Hiperrealitas politik menciptakan proses “derealisasi” (derealisation), di mana relasi politik di medsos mendominasi kesadaran, perhatian, dan persepsi publik, mengambil alih relasi di dunia nyata. Memang, di sebuah republik, pemerintah harus mengurusi aneka kepentingan publik berdasarkan nilai bersama res publica.Namun, jika perhatian dan kesadaran penguasa serta komponen bangsa disedot oleh motif dramaturgis-simulakra di ruang publik, yang tercipta the republic of simulacra.

Keputusan Jokowi menelepon seorang anak yang tampak menangis di medsos karena tak bisa bertemu Presiden tentu sebuah tindakan humanis. Akan tetapi, lebih bijak jika media sosial digunakan Jokowi secara optimal sebagai ruang deliberasi untuk memikirkan, mendiskusikan, dan mencari solusi aneka masalah “nyata” yang mendera rakyat: kemiskinan, penggusuran, pengangguran, ketakberdayaan, kejahatan, konflik, permusuhan, ancaman kesatuan bangsa, dan harga barang yang melonjak—the politic of the real.

Oleh: Yasraf Amir Piliang

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2017

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top