Opini | Rumah pohon belakangan menjadi fenomena diberanda media sosial di Luwu Utara. Menjadi konten yang sering berselancar menembus padatnya lalu lintas dunia maya. Tak jarang warga Facebook, Path, Instagram, BBM, dan media sosial lainnya di memposting gambar dengan latar (background) rumah pohon.
Melalui situs media sosial yang menjamur rumah pohon menampakkan wajahnya. Melahirkan viral yang siap dibagikan dengan bermacam kicauan yang menjadi ciri khas masyarakat digital, menjadi obrolan para netizen (masayarakat dunia maya) dengan nada positif ada juga dengan melodi sinis, dan tentu saja mengusik rasa penasaran bagi penghuni jagad maya yang belum sempat menyambanginya. Apa itu rumah pohon? pertanyaan yang juga mengusik penulis.
Rasa penasaran mengantarkan penulis bertandang ke rumah pohon yang dibangun dibantaran sungai Masamba di Desa Baloli. Sore itu kami disambut sosok laki-laki dengan penampilan sederhana, kulit sawo matang, penuh tato disekujur tubuh, dan rambut terurai gimbal. Dia bang Edy Suranta Ginting anak muda asal Medan Sumatera Utara, sang inisiator rumah pohon bersama Komunitas Pecinta Alam Baloli-Kamiri (COMPAK).
Edy begitu fasih menjawab detail pertanyaaan yang dicecar salah seorang kawan pewarta media ternama yang ikut bersama kami. Uraiannya mengalir penuh optimisme yang melahirkan bermacam pesan moral bagi kami. Tak ada yang patut dicurigai, sampai harus mengintai aktivitas rumah pohon. Disudut lainnnya terlihat salah seorang rombongan kami mengobrol akrab menggunakan bahasa Prancis dengan salah seorang warga negara asing (WNA). Sore itu memang nampak dua bule asal Prancis yang meluangkan waktunya berbagi kelas bahasa inggris.
Kami semakin hanyut membincang tentang rumah pohon. Edy mengurai pondasi filosofis yang menjadi dasar bangunan rumah tiga lantai yang artistik itu. Rumah pohon adalah bengkel manusia, pusat kreatifitas, rumah pelestarian alam dan tentu saja merawat kemanusian dengan kesalehan sosial. menyimak uraian edy pesan sibijak seketika terbesit dikepala penulis “don’t Judge book by the Cover”.
Nama otentik project ini sesuai penyematan netizen “Rumah Pohon” selain itu juga disebut sebagai gudang art namun ada juga yang menyemainya dengan aksara lokal solaku (sahabatku). Project rumah pohon Desa Baloli-Kamiri merupakan project kesekian (baca; ke-14). Edy Suranta Ginting memulai petualangannya dibawah kaki gunung Kerinci. bergeriliya bersama istri membangun investasi sosial, meninggalkan pekerjaan bergelimang materi selaku pelukis di pulau dewata Bali yang menjanjikan kesenangn duniawi, hingga menginjakkan kaki dibumi Lamaraninang. Berdirilah rumah pohon hasil kolaborasi dengan anak muda kreatif berdedikasi sosial Desa Baloli-Kamiri (Balebo) yang berhimpun dalam wadah COMPAK
Education Project
Rumah pohon adalah pusat pendidikan, mengingatkan kita tentang hakikat pendidikan terhadap dunia manusia, bukan tujuan wisata atau sekedar tempat selfie , pengunjung harusnya memahami itu. Disana ada kelas berbagi bahasa inggris (english class), daur ulang sampah (resycle creative), menanam tanpa pestisida (organic farming) dan kelas berbagi seni (art gallery). Anak-anak dan remaja dimasa senggang belajar bahasa inggris tak mengarah pada grammar dan structure bahasa inggris tapi minimal memupuk mental membuka jendela dunia dengan melatih lidah berbahasa internasional, menyambut gempuran globalisasi. Ini juga yang menjadi alasan mengapa wisatawan mancanegara dilibatkan menjadi tutor pada rumah pohon selain tutor lokal.
Sejak dirintis pada februari tahun ini ratusan wisatawan asing yang intrest (minat) terhadap kegiatan sosial dari berbagai negara seperti Jerman, Kanada, Prancis, Meksiko dan Ausralia menyinggahi rumah pohon, meluangkan waktu menjadi tutor yang mengedukasi, tentu saja dengan status pengajar visatour.
Project yang sementara dalam tahap perampungan ini membuka diri bagi setiap insan yang ingin merawat lisan dan akal. Ada kelas anak, remaja, dan kelas umum (dewasa) yang rencananya di buka Agustus bulan ini, tentu dengan beban administrasi ala kadarnya guna menopang pembangunan dan operasional rumah pohon. Anak-anak muda itu tak ingin mencari pemodal atau sokongan kuasa, biarlah rumah pohon mengakar dan menjulang kelangit dengan seni kemanusian penuh intrest sosial. Sebab mereka tak ingin tersandra oleh monopoli kapital yang menjamah institusi-institusi pendidikan dewasa ini, apalagi sokongan kekuasaan yang penuh dengan postur politis.
Tumbuhnya Sekolah Rakyat
Rumah pohon mengingatkan penulis pada buku karya Roem Topatimasang “Sekolah Itu Candu”. Sekolah itu candu memotret secara jernih bagaimana sistem pendidikan modern dan mapan seperti sekarang ini telah banyak melahirkan manusia yang terasing dan tercerabut dari dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Memang benar bangunan sekolah menjadi lebih baku, tidak ada lagi sekolah rakyat dengan atap rumbia yang dibangun sendiri dari swadaya masyarakat. Sebagai gantinya, berdirilah gedung-gedung megah menjulang kelangit namun tak kunjung mencetak budi pekerti luhur. Masalah ini digambarkan dengan sangat indah dan puitis oleh Roem dalam pamflet “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”. Uraiannya senafas dengan kritik Everett Reimer lewat bukunya “Sekolah Sudah Mati” School is Dead.
Rumah pohon menumbuhkan sekolah rakyat yang oleh Roem disebutnya telah roboh, serupa sekolah rimba suku anak dalam pedalaman jambi ala antropolog perempuan Saur Marlina Manurung atau akrab disapa Butet Manurung, penoreh penghargaan Magsaysay atau kerab disebut hadiah nobelnya Asia. Rumah Pohon dibangun dari kreatifitas anak muda, semangat gotong royong masyarakat, hasil swadaya, dan mengembalikan pendidikan pada fitranya. Rumah pohon berorientasi kepada pengenalan realitas, yang objektif maupun subjektif, di sana pengunjung dan peserta didik meluangkan waktu belajar bahasa asing, kesemestaan kemanusian, merawat alam, dan berbagai kebajikan yang memanusiakan. Rumah pohon menyelami wejangan salah seorang tokoh pendidikan abad ini Paulo Freire tentang tujuan akhir upaya proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi).
Rumah pohon menawarkan kepada kita mengisi waktu luang untuk bersekolah di sana, belajar banyak hal. Seperti kebiasaan orang Yunani tempo dulu. Alkisah orang Yunani tempo dulu mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai tertentu untuk belajar hal-ikhwal yang mereka rasa perlu dan butuh untuk diketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae, atau schola yang menjadi bahasa asli dan asal muasal sekolah. Keempatnya secara harfiah punya arti sama “Waktu luang atau waktu senggang yang digunakan secara khusus untuk belajar” (leisure devoted to learning).
Anomali Rumah Pohon
Ada semacam anomali mewarnai tumbuh kembangnya rumah pohon. Aroma itu terbaca dari nada sinis yang terlontar dijagad maya dan warung-warung kopi di Masamba. Rumah pohon dinilai manusia agamais sebagai kerja misionaris yang mengancam aqidah, ada juga manusia berbudaya yang takut kehilangan nilai kearifan lokal (kebudayaan) atas pelibatan tutor asing. Opini miring yang berkembang sungguh tak elok, sebab masyarakat Baloli-Kamiri (Balebo) sebagai lokasi tumbuhnya rumah pohon paham betul dua perkara itu. Masyarakat di sana selama ini dikenal punya prinsip dalam membentengi agama, selain itu masayarakat Baloli-Kamiri juga dikenal selalu mengasah kecerdasan kultural (cultural intelligence) sehingga opini itu hanya penyimpangan tak berakar kokoh yang mewarnai pro-kontra rumah pohon.
Fenomena lain yang menghantui rumah pohon adalah sikap sebagian besar pengunjung yang acuh terhadap landasan pendirian rumah pohon. Rumah pohon dipandangnya sebagai tujuan wisata yang menggoda libido sebagai objek selfie. Selfie memang mendominasi tujuan kunjungan rumah pohon. Padahal rumah pohon bukan sekedar tempat selfie, penyimpangan ini harus segera ditanggalkan. Rumah pohon adalah mediator yang menawarkan berbagai edukasi.
Selain polemik diatas ancaman lainnya datang dari Pemerintah Daerah yang menyoal legalitas tumbuhnya rumah pohon dan pelibatan touristmancanegara. Dalam kacamata penulis ini tentu berlebihan karena perintisan rumah pohon merupakan misi sosial dan kreatifitas anak muda yang harus didorong. Pemerintah harusnya menjadi jembatan tumbuh kembangnya rumah pohon, sebab keberadaannya menjadi kran yang memicu produktifitas. Konon keberadaan rumah pohon mengurangi aktivitas negatif anak muda setempat ini tentu hembusan positif. Lampu hijau harus segera dihidupkan oleh semua stakeholder terkait untuk mempertahankan rumah pohon, tentu dengan bangunan komunikasi yang baik akan melahirkan kenyamanan aktivitas. Biarkan rumah pohon tumbuh bersama rantingnya dan menghasilkan buah yang manis untuk Luwu Utara tercinta. Tak ada lagi curiga, pengintaian aktivitas, dan pro kontra yang menyesatkan tentang rumah pohon.
Oleh: Rival Pasau (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar)
