Opini, Lagaligopos.com – Selama hampir 15 tahun, terhitung sejak 1999, rakyat Indonesia alias calon pemilih selalu disuguhi alat peraga kampanye bersifat paritas dan bergaya visual narsisisme.
Caleg yang menerapkan strategi narsisisme—dengan memasang deretan gerbong gelar akademis, gelar kebangsawanan, gelar keagamaan, dan hubungan kekerabatan dengan tokoh parpol—ditengarai belum mempunyai pengalaman dan kompetensi memadai di jagat politik.
Mereka tanpa malu membentangkan dirinya dalam bentangan spanduk, rontek, billboard, dan baliho yang ditancapkan dan dipakukan di batang pohon. Karena perilaku negatif semacam itu, Komunitas Reresik Sampah Visual menjulukinya sebagai ”Caleg Penunggu Pohon”. Ujungnya, ”Caleg Penunggu Pohon” justru menebar rasa antipati di calon pemilih. Pola komunikasi politik yang dijalankannya cenderung memaksakan kehendak pribadinya.
Hal itu terlihat saat ”caleg penunggu pohon” belum menjadi anggota legislatif, tetapi realitas sosialnya sudah bertindak adigang, adigung, adiguna lewat pemasangan alat peraga kampanye yang amburadul, tidak ramah lingkungan, dan mengabaikan ekologi visual.
Selain itu, kenyataannya mereka belum resmi menjadi anggota dewan. Namun, secara terstruktur mereka sengaja melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013. Mereka dengan kesadaran penuh menebar sampah visual iklan politik di ruang publik.
Apologinya, demi mengejar aspek popularitas di tengah calon pemilih yang belum mengenal dirinya.
Di antara kesibukannya menebar sampah visual iklan politik, para ”caleg penunggu pohon” lewat bentangan spanduk, rontek, dan baliho yang jadi andalannya juga menjalankan ritual obral janji politik. Seperti apakah janji politik yang diobral para ”caleg penunggu pohon?” Biasanya berupa janji surga. Sebuah janji politik yang realitas sosialnya sulit diejawantahkan.
Dalam berkampanye, kenapa ”caleg penunggu pohon” menjalankan strategi komunikasi obral janji politik? Kenapa mereka meniru pengelola mal atau pusat perbelanjaan yang suka menggelar obral diskon?
Ditengarai, ”caleg penunggu pohon” merupakan caleg panik yang dikejar deadline untuk memperkenalkan dirinya kepada calon pemilih di daerah pemilihannya. Caleg seperti itu adalah caleg instan yang tidak memiliki dukungan riil di tengah masyarakat calon pemilih.
Karena dosa sosial semacam itulah mereka akhirnya membenamkan diri bersama obral janji yang dikemas dalam iklan politik dengan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep semacam ini sebab diyakini mujarab mendongkrak popularitas ”caleg penunggu pohon”.
Apa yang terjadi kemudian? Realitas lapangan menunjukkan arah jarum yang berputar terbalik. Barangkali, secara kasatmata mereka populer di depan mata calon pemilih. Namun, realitas sosial mengabarkan sebaliknya. Kenyataannya: aspek elektabilitasnya mengarah kepada satu titik nadir.
Artinya, popularitas ”caleg penunggu pohon” yang didongkrak lewat tebaran sampah visual iklan politik yang ditancapkan di ruang publik dalam bentuk alat peraga kampanye, fakta visualnya tidak dengan serta-merta dipilih rakyat.
Cukupkah ”caleg penunggu pohon” bermodalkan popularitas dan gelontoran fulus untuk belanja alat peraga kampanye? Tidak cukup. Pengalaman lapangan yang sudah teruji ruang dan waktu harus menjadi modal sosial ”caleg penunggu pohon”.
Kualitas merek sang caleg jauh lebih penting daripada sekadar obral janji politik dan gembar-gembor mempromosikan dirinya bagaikan tong kosong berbunyi nyaring. Itu karena kualitas merek sang caleg yang kuat positioning-nya dapat dibuktikan lewat segepok karya nyata yang bermanfaat demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Bukan justru dibuktikan lewat tebaran sampah visual iklan politik yang dibentangkan dan ditancapkan ”caleg penunggu pohon” di seantero ruang publik. []
Sumbo Tinarbuko: Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta, Relawan Komunitas Reresik Sampah Visual
Sumber: Kompas Cetak, Edisi 24 Desember 2013