OPINI – Pesta demokrasi hampir usai. Semua telah menggunakan hak demokrasinya di Pilpres dan Pileg 2019 ini, termasuk yang golput. Kini kita sedang menunggu hasil kontestasi politik yang melelahkan, mendebarkan dan bahkan menakutkan ini.
Apapun hasilnya, yang pasti pesta demokrasi kali ini meninggalkan jutaan lorong kebencian, ladang permusuhan, hutan rimba pertengkaran, ekstase keberingasan, padang kecurigaan, badai libido, tsunami hasrat (kekuasaan), lautan luka, samudra air mata, aroma ketakutan, dan mimpi-mimpi horor.
Pesta demokrasi kita meninggalkan jejak nyata dan jejak digital sebagai “sejarah kelam” bangsa, yang akan “dibaca” oleh anak-cucu kita di masa depan, sebagai sebuah “manumen hitam demokrasi”.
Kita lupa—atau dibuat lupa— bahwa , para pendiri bangsa telah mewarisan cara berbangsa dan bernegara yang diikat oleh prinsip dasar cerdas-inklusif: “permusyawaratan”. Sebelum negara republik lahir (state), kita sudah eksis sebagai “bangsa” (nation), dengan beragam suku, agama, dan ras.
Musyawarah adalah prinsip dasar ‘politik’ dalam warisan-warisan sistem keagamaan, kesukuan, kedaerahan, komunitas atau perkumpulan lainnya. Maka, nyaris tidak ada permusuhan di antara yang berbeda: semua diselesaikan melalui musyawarah. Karenanya, para pendiri bangsa menjadikan permusyawaratan sebagai prinsip dasar demokrasi, dengan otoritas tertinggi pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai tertulis di UUD 45.
Gerakan reformasi tahun 1997 telah mengubah panorama demokrasi kita melalui proses demokratisasi yang menelan banyak korban dan pikiran. Akan tetapi, proses demokratisasi yang tak dikawal dengan baik, bersifat instan, dan tanpa refleksi mendalam, telah melahirkan Amandemen UUD 45 (2001,2002), yang mengganti cara kerja “demokrasi permusyawaratan” dengan “pemilihan langsung”.
Anak kandung dari pemilihan langsung adalah “pencitraan”. Citra dan popularitas menggantikan kapasitas, kapabilitas dan integritas dalam memilih pemimpin: presiden, gubernur, bupati, camat, rektor, dekan. Maka, jangan hanya salahkan SBY bikin album, Jokowi masuk got atau selokan, Prabowo naik kuda sebagai cara untuk membangun citra positif dalam kontestasi politik: amandemen UUD yang membuka ruang untuk itu.
Pemilihan langsung telah menggeser pusat perhatian dari “partai” ke “individu”. Dulu, kita memilih partai, partai mengajukan calon, dan MPR yang memililih presiden melalui “musyawarah,” meskipun di rezim Orde Baru diselewengkan.
Pemilihan langsung melenyapkan cara kerja musyawarah, yang kini digantikan oleh mekanisme polling, iklan politik, exit pool, dan quick count.
Musyawarah didasari ketenangan, kedalaman, reflektivitas, dan inklusivitas; sementara polling atau quick count didasari kecepatan, kesegeraan, serangan psikologis dan industrialisasi pikiran: semua masuk jebakan hipnotis, ekstase, histeris, kaget, gusar, lesu, murung, tidak bisa tidur, bahkan hilang selera makan.
Tapi, sekali lagi, jangan hanya salahkan lembaga-lembaga survei dan media massa, tetapi juga Amandemen UUD 45 yang memberi ruang pada mereka.
Presidential threshold adalah anak kandung lain demokrasi langsung, yang di dalam dua Pilres (2014, 2019) telah mengkondisikan hanya dua paslon yang tampil sebagai kontestan. Kondisi ini adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan bangsa ini terbelah dalam sebuah “pemisahan besar” (great divide): Cebong dan Kampret.
Hari-hari ini bangsa ini sudah sangat kenyang dengan sumpah serapah, makian, cacian, fitnah, tuduhan, bully; kebohongan, kepalsuan, kemunafikan; keculasan, kecurangan, kelicikan; kebusukan, kebebalan, ketakpedulian, yang bertebaran di mana-mana: di tembok, di spandung, di pohon, di billboard, di dinding, di kaos, di gantungan kunci, di layar televisi, di WAG, di FB, di Twitter.
Kepalsuan, kecurangan dan kebebalan adalah menu sarapan pagi, dan fitnah adalah gizi harian tubuh anak bangsa ini. Apapun agama kita, betapa menggunung tumpukan dosa yang dicatat malaikat akibat cacian, cercaan, makian, umpatan, fitnah, tipuan, amarah, kecurangan, kebebalan dan kebencian yang kita lakukan.
Apakah warisan dosa reformasi kebebalan, keculasan dan kecurangan ini akan kita wariskan ke generasi anak bangsa kita ke depan, melalui mekanisme pemilihan langsung, pencitraan, dan polling?
Sejarah demokrasi harusnya menyadarkan akal sehat kita, bahwa dua pesta demokrasi 2014 dan 2019 telah meninggalkan “sejarah hitam” bangsa kita melalui jutaan jejak narasi nyata dan narasi digital yang tak terhapuskan, sebagai buah pengkhianatan kita terhadap para pendiri bangsa ini.
Kian jauh kita masuk ke dalam perangkap demokrasi “individualistik” dan “imagologis” ini, kian parah kita mengkhianati para pendiri bangsa ini, dan kian besar “dosa bangsa” yang harus kita tanggungkan, dan kian berat beban yang harus ditanggung anak cucu kita kelak.
Mengembalikan cara kerja demokrasi kita ke arah cara permusyawaratan dalam semangat pluralitas, inklusivitas dan kebersamaan sebagai anak bangsa adalah perjuangan ke depan kita bersama. Kita perbaiki caranya, kita cegah penyelewengannya.
Oleh: Prof. Yasraf Amir Piliang