OPINI

Luwu Utara Darurat Banjir

OPINI| Kabupaten Luwu Utara memiliki luas wilayah mencapai 7.502,58 Km2 dilalui 8 (delapan) sungai besar, panjang garis pantai mencapai ± 60 Km, intensitas curah hujan cukup tinggi pada priode bulan Oktober- februari, dengan pola penggunaan lahan didominasi oleh hutan mencapai sekitar 267.021 Ha atau sekitar 43,11 % dari total luas wilayah Kabupaten Luwu Utara, sekitar 64 % jumlah penduduk bekerja di sektor pertanian dengan luas lahan pertanian mencapai 239.672 Ha, sektor pertanian merupakan penyumbang pendapatan terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten sebesar 52,37 %.

Kondisi geografis yang demikian, ditambah dengan berbagai persoalan fenomena perubahan iklim global, menjadikan Kabupaten Luwu Utara sebagai wilayah yang rawan dari berbagai jenis bencana hidrometeriologi seperti bencana banjir yang sedang melanda bagian pesisir Kabupaten Luwu Utara pada saat ini, akibatnya sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi kabupaten menjadi terhambat yang akan berdampak pada ketimpangan antar wilayah semakin tinggi yang direpsentasikan dengan berbagai indikator – indikator kesejahteraan masyarakat.

Banjir merupakan wujud fenomena demonstrasi alam terhadap berbagai macam bentuk perlakuan manusia yang dikemas dengan eksploitasi  besar – besaran terhadap bentang alam dengan berbagai macam bentuk kebijakan – kebijakan yang secara masif dilakukan, dangan satu tujuan klasik demi tercapainya kesejahteraan rakyat Realitas tujuan klasik kebijakan itu, justru tidak akan tercapai ketika daya dukung lingkungan tidak menjadi batu uji dalam menentukan kebijakan-kebijakan terhadap ekspoloitasi bentang alam, karena pada dasarnya perlakuan itulah yang memberikan dampak terhadap peristiwa yang terjadi dimasa-masa yang akan datang

Fenomena banjir di Kabupaten Luwu Utara merupakan salah satu persoalan klasik yang tak pernah usai terjadi, dan sudah menjadi agenda tahunan ketika mamasuki bulan Oktober – Februari, 19.000 Ha lahan tergenang akibat curah hujan tinggi yang mencapai 3000 – 4500 mm/thn serta luapan Sungai Rongkong dengan debit air mencapai 516,58 m3/detik dan Sungai Baliase 693 m3/detik, pada dasarnya debit air sungai akan bersifat fluktuatif tergantung dengan kebijakan pemerintah daerah disektor hulu sungai.

Dilain sisi, dengan kondisi air tanah yang akuifer produktif (permukaan air tanah dangkal) di daerah dataran rendah di kabupaten Luwu Utara membuat air meresap lebih lambat ke tanah akibatnya terjadi genangan air, sehingga dengan intensitas curah hujan yang mencapai  3000 – 4500 mm/thn akan mempercepat air menggenang  di daerah dataran rendah di kabupaten ini.

Sebagai konsekuensi logisnya genangan banjir tersebar di lima kecamatan, setiap kecamatan mendapat jatah genang masing masing; 1) Kecamatan Baebunta 132 Ha lahan tegalan 2) Kecamatan Malangke 11281 Ha dimana 675 Ha ladang, 8116 Ha tegalan, 1604 Ha tambak/empang 886 Ha tanaman bakau 3) Kecamatan Mappideceng 2561 Ha dimana 377 Ha sawah dan 2184 Ha tegalan 4) Kecamatan Masamba 1745 Ha Tegalan 5) kecamatan sukamaju 1857 Ha  dimana 193 Ha bakau 6 ha sawah dan 1657 Ha tegalan

Akibatnya maksimalisasi keuntungan ekonomi dari berbagai sektor pertanian dan perikanan menjadi tidak maksimal, luas lahan persawahan di lima kecamatan 13.834 Ha, jumlah produksi gabah mencapai 5 ton/ha dengan harga jual Rp. 3,700/Kg sehingga kerugian ekonomi dalam satu kali musim tanam komoditi tanaman padi mencapai Rp. 255.929.000.000,00- belum lagi kerugian ekonomi sektor perikanan tambak dan sektor-sektor lainnya.

Dilain sisi tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana banjir masih cukup tinggi, hal ini dapat diukur dari tingkat kepadatan permukiman yang mencapai   9 rumah /Km2, dengan 64 % dari Jumlah penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian, keterbatasan akses terhadap informasi dan komunikasi terhadap bencana, rasio jumlah penduduk usia muda mencapai 32,4 % dan manula 5 % dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dimana 54 % tamat              SD 18,9 % SMP  26 % SMA dengan demikian menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap bencana banjir dan berkorelasi terhadap meningkatnya kerentanan terhadap masyarakat

Dengan tingkat kerentanan yang cukup tinggi, tingkat ketahanan terhadap bencana juga terbilang rendah hal ini terlihat dari rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk terbilang kecil, untuk kawasan hilir misalnya rasio tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk 16 : 24135, artinya 1 orang tenaga kesehatan menangani 1.508 penduduk

Ditambah lagi Isu terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada 10 (sepuluh) perusahaan tambang sejak tahun 2011 dalam pemanfaatan lahan dikawasan hulu sungai seluas 237.984 Ha, hendaknya menjadi bahan evaluasi, sebab akan memberikan dampak besar terhadap luasan serta tinggi genangan banjir dikawasan hilir kedua sungai.

17 tahun kabupaten ini berdiri akan tetapi belum juga memperlihatkan upaya nyata dalam mengurangi area genangan banjir, penaganan persoalan klasik diatas hanya bersifat insedentil berbalut citra semata, akibatnya masyarakat dibagian pesisir harus menerima dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkepanjangan tanpa ada kepastian kebijakan mitigasi bencana ketika mamasuki fase bulan oktober- februari.

Sekali air pasang, sekali tepian beranjak; Sekali air di dalam, sekali pasir berubah, mungkin pribahasa diatas cukup menggambarkan kondisi siklus kebijakan pembangunan  di Kabupaten Luwu Utara yang telah menjalani 17 tahun dalam bingkai otonomi daerah, dimana Setiap terjadi perubahan pimpinannya, berubah pula haluan kebijakan pembangunannya.

kini arah kebijakan pembangunan berada di telunjuk kartini muda, yang mengusung jargon perubahan, yang diharapkan di era kepemimpinanya ialah kabar keberhasilan yang menjadi viral dimedia massa bahwa beliau mampu mengubah “bencana banjir menjadi berkah”, yang memberikan dampak multiplier effect terhadap segala lini kehidupan masyarakat, bukan sekedar suguhan berita aksi insedentil dengan bagi- bagi kebutuhan pokok akan tetapi lebih kepada tindakan preventif dalam bingkai kebijakan mitigasi bencana banjir yang lebih komperhensif .

Berdasarkan kondisi eksisting diatas pada dasarnya perseolan banjir di Kabupaten Luwu Utara memiliki persoalan kompleksitas tinggi sehingga perlu untuk setiap pemangku kebijakan lintas sektor duduk bersama dalam menentukan langka-langka strategis kebijakan mitigasi bencana, baik yang sifatnya struktural maupun non struktural sehingga tidak terjadi tumpang tindi kebijakan

Tepat kemudian, jika  Dr. Tchn. Yasinta Kumala dewi ST., MIP mengatakan bahwa, hendaknya kebijakan pembangunan itu mestilah dilihat dalam bingkai kebijakan yang lebih besar sehingga tidak terjadi tumpang tindi kebijakan yang berakibat tidak tercapainya tujuan utama pembangunan yang hendak dicapai.

Oleh: Radinal Jayadi, Alumni fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar. Kini aktif di organisasi Non-Pemerintah, Lembaga Informasi dan Kajian Daerah (LIKDA) Indonesia.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top