OPINI

Musykilnya Representasi

Almarhum Roland Barthes suatu kali pernah mengecam realisme seni sebagai “ideologi”, yang menipu diri sendiri sebelum akhirnya menipu orang banyak. Sebenarnya lebih dari sekadar ideologi. Barthes juga menyebutnya “mitologi”. Realisme, kita tahu, berkeyakinan bahwa karya seni, termasuk sastra, merupakan representasi bagi kenyataan. Lihatlah realisme sosialis a la Georg Lukacs, misalnya, yang berpendapat bahwa karya sastra yang sefati haruslah merupakan representasi dan cermin bagi totalitas dan keutuhan kenyataan sosial yang porak-poranda akibat merebaknya reifikasi (pemberhalaan komoditas) dalam kapitalisme. Sedangkan seni yang tidak mencerminkan totalitas kenyataan sosial (bahkan mencurigai ide tentang totalitas), semisal gerakan seni modernis dan amntgarde, di mata Lukacs, adalah seni bobrok, palsu, sebagai produk reifikasi kapitalisme belaka.

Pandangan realis semacam ini bagi Barthes menjadi ideologis karena realisme sejatinya menyembunyikan, bahkan memalsukan hubungan antara bahasa dengan kenyataan. Bahasa sebagai sistem tanda yang mestinya arbitrer, tidak stabil dan membawa kelimpahan makna yang tak terbatas tiba-tiba distabilkan dan dipastikan hubungannya dengan kenyataan. Seakan-akan hubungan bahasa dengan kenyataan bersifat natural. Bahasa begitu saja menjadi cermin kenyataan. Dengan kata lain, hubungan bahasa dengan kenyataan yang mestinya “kultural” (konstruksi sosial yang relatif) oleh realisme diperlakukan secara “natural” (alami dan permanen). Di sinilah persisnya sifat ideologis dan penampilan mitologi pada realisme: menaturalkan representasi dalam bahasa.

Kecaman Roland Barthes terhadap realisme terasa terlalu tajam. Bisa jadi itu ada kaitannya dengan preferensi seni Barthes sendiri yang memang lebih condong pada simbolisme dan modernisme ketimbang pada realisme. Tapi, paling tidak, kecaman Barthes terhadap representasi model realisme tersebut bisa dianggap sebagai petunjuk dini terhadap adanya arus kecenderungan yang meragukan korespondensi linear bahasa dengan kenyataan dan menyangsikan “fakultas mimetik” dari bahasa. Kesangsian ini ternyata tidak berlaku hanya dalam bahasa sastra. Bahasa sains yang mengklaimobjektif dan empiris, dan bahasa filsafat yang rigorus pun tidak lagi serta merta diterima sebagai cermin alam. Jadi kaum realis dalam seni, kaum positivis dalam sains, dan kaum fundasionalis dalam filsafat adalah para terdakwa.

Lebih dari itu, “kenyataan” yang selama ini dianggap given dan hadir taken for grarrted begitu saja di luar bahasa juga tak luput diusutusut dasar konseptualnya Garis demarkasi antara fakta dan fiksi, antara ilmu/filsafat/laporan jurnalistik dan sastra yang tadinya ditarik secara tegas dan distingtif sekarang pun melumer. Batas-batas disiplin dan genre menjadi nisbi. Banyak teks dan tulisan yang tidak bisa lagi dikenali berdasarkan definisi yang ada: apakah ia tulisan faktual atau fiksi, apakah sastra, laporan antropologi, traktat filsafat,atau causerie.

Jangan-jangan malah definisi tersebut tidak perlu lagi. Karena, perkembangan yang sedang terjadi sekarang ini, mengutip ungkapan Clifford Geertz, “tidak sekadar suatu pemetaan atas cara lain-bergesernya beberapa batas yang menjadi sengketa, atau ditandainya beberapa danau yang lebih indah di gunung, melainkan berubahnya prinsip-prinsip pemeraan itu sendiri. Sedang terjadi sesuatu atas cara kita berpikir mengenai cara kita berpikir.”

Kenapa representasi menjadi hal yang musykil? Kaum poststrukturalis mungkin akan menjelaskannya dari segi karakter bahasa. Bahasa di mata mereka niscaya berwatak metaforis yang ambigu, arbitrer, selalu mengejurkan dan tak terduga. Makna muncul dari permainan tanda-tanda dalam bahasa itu sendiri. Bahasa bukan alat atau kendaraan pikiran untuk mengacu kenyataan diluar bahasa. Pandangan bahwa bahasa hanyalah alat sebenarnya menekan dan melupakan watak metaforis bahasa itu sendiri. Kalau Barthes mengecam naturalisai yang terjadi pada bahasa realis, ia pada prinsipnya berada dalam satu baris yang sama dengan mereka yang cenderung mengembalikan bahasa kepada metafor.

Kemusykilan representasi bisa juga dilihat dari jurusan lain. Apa yang selama ini diterima secara wajar sebagai kenyataan atau fakta ternyata tidak lepas dari proses kontstruksi sosial. Setidaknya pandangan demikian secara kuat digemakan oleh sosiologi pengetahuan. Karena kenyataan atau fakta adalah hasil konstruksi, maka ia tidak bisa dilawankan dan didikotomikan secara tajam dengan fiksi. Ignas Kleden menunjukkan bahwa kalau diperiksa dalam bahasa Latin, fictio yang menjadi akar kata fiksi justru tidak terlalu banyak berarti sesuatu yang fiktif, imajiner, non real. Fictio berarti juga sesuatu yang dikonstruksikan, ditemukan, dibuat, selain juga dibuat-buat. Jadi fiksi adalah fiksi, tapi fakta juga fiksi.

Dengan kata lain, dikotomi fiksi-fakta untuk menanda dikotomi sastra-non sastra lebih baik dimoratoriumkan saja. Dan ini bukannya tanpa preseden historis. Terry Eagleton bercerita dalam bukunya Literary Theory bahwa yang disebut “sastra Inggris abad ke 17” ternyata bukan hanya mencakup karya Shakespeare dan Milton tapi juga esai Francis Bacon dan Leviathan Hobbes. “Sastra Prancis abad ke 16-17” tidak hanya Corneillc dan Racine tapi juga Descartes dan Pascal.

Adanya dua hal ini; status fiktif dalam realitas dan fakta, dan watak metaforis dalam bahasa membawa representasi pada titik yang problematis, bukan hanya berarti dikotomi fakta-fiksi tidak lagi berdasarkan pada pijakan yang kokoh. Jangan-jangan, dikotomi sastra realis dan nonrealis pun menjadi tak terlalu penting. Artinya, sekurang-kurangnya ada dua tawaran perspektif dalam pokok soal ini. Pertama, dalam menghadapi teks “bukan sasrta”, kita tidak lagi mau menerima keangkuhan pretensi kepastian dan ketunggalan makna teks itu, hanya karena teks tersebut berdasar data empiris objektif atau berasal dari refleksi pemikiran filosofis. Kita mestilah ingat watak fiktif teks tersebut, watak konstruksi sosial teks tersebut, yang selalu berada dalam proses fluiditas dan ambiguitasnya sendiri sehingga tidak bisa begitu saja diasalkan pada satu pusat, satu kepastian makna.

Dan dalam menghadapi teks “sastra”, mungkin kita tidak perlu lagi terlalu tegas menarik lini antara sastra realis dan non-realis. Sebab keduanya ternyata menggunakan medium yang sama yakni bahasa sebagai metafor. Dengan demikian, yang dituntut dari karya sastra bukanlah klaim representasinya, bukanlah klaim mimesisnya, tapi sejauh mana ia bisa mengoptimalkan penggunaan bahasa. Bukan untuk diperalat atau dipergunakan melulu secara literal, melainkan untuk diperlakukan seperti halnya suatu tarian memperlakukan tubun dan gestur, yang merayakan jouissance. Sastra realis maupun nonrealis ternyata tetaplah punya jarak dengan kenyataan yang (dibayangkan) ada di luar bahasa. Bahasa selalu berada dalam ketegangan yang selalu muncul serentak antara menangkap dan melepas ketika hendak memegang dunia. Karena itu, klaim sastra realis yang mampu menampilkan totalitas kenyataan pada titik ini menjadi suatu ilusi yang manja.

Oleh: Ahmad Sahal
Sumber: Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 11

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top