OPINI | LAGALIGOPOS.COM – Beberapa waktu yang lalu, Lagaligopos.com merilis sebuah berita mengenai bantuan yang diberikan oleh gubernur Sulsel untuk masyarakat seko senilai 24 miliar, untuk pembangunan ruas jalan Sabbang-Seko.
Pertama-tama yang timbul di benak saya setelah membaca berita tersebut adalah; Bahwa sesungguhnya infrastruktur jalan Sabbang-Seko secara bertahap bisa dibangun tanpa kehadiran perusahaan/pihak swasta. Pemerintah (Negara) bisa melakukan itu.
Dengan demikian, wacana yang selama ini berkembang bahwa Seko tidak bisa dibangun jika hanya mengandalkan APBD, Seko hanya bisa dibangun dengan kehadiran perusahaan. Karena itu, dengan masuknya PLTA (paralel dengan beberapa izin tambang), Seko akan terbuka, jalan akan diperbaiki, lapangan kerja baru akan terbuka, dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, semua itu runtuh dengan adanya bantuan 24 miliar yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Adalah benar bahwa dengan adanya bantuan itu tidak serta merta menyelesaikan ketertinggalan pembangunan di wilayah Seko secara menyeluruh. Akan tetapi, itu dapat dijadikan pijakan bahwa sesungguhnya secara bertahap Seko bisa terbangun melalui tangan pemerintah, tidak mesti mengandalkan pihak swasta/perusahaan (investor).
Pula dalam kenyataannya, masyarakat tidak pernah meminta dan memaksa agar pembangunan wilayahnya dilakukan secara cepat, atau sekali jadi.
Masyarakat selalu bersabar, bahkan teramat sabar, sehingga sejak negara ini merdeka sampai saat ini, mereka tidak pernah melakukan pembangkangan apalagi pemberontakan untuk meminta perhatian pemerintah. Karena pada dasarnya, semua itu memang merupakan tanggungjawab pemerintah (Negara) untuk memenuhi hak-hak warga Negaranya.
***
Mendukung pemerintah yang sedang bekerja adalah keharusan, namun tetap menjaga kewarasan, fungsi control harus tetap dijalankan. Pemerintah adalah manusia biasa, sama seperti kita, memiliki potensi baik dan buruk.
Karena itu, Apa yang baik hari ini dilakukan oleh pemerintah untuk wilayah Seko itu harus kita apresiasi, namun apa yang belum makasimal tetap harus kita kritisi.
Rakyat memiliki harga yang teramat mahal di negeri ini, rakyat bukan sekedar buat lampiran untuk menyelesaikan legal dokumen dalam setiap kebijakan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.
Seturut dengan hal tersebut, Saya teringat ungkapan Mahbub Junaedi dalam salah satu coretannya, bahwa teramat penting untuk kita sadari dan pahami, bahkan dijadikan habitus, Bahwa penduduk suatu wilayah itu punya harga, bukan seperti kecoak, karena merekalah yang memberi nafkah kepada Pemerintah, kepada negeri ini, agar supaya Pemerintah bisa berdiri di atas dengkulnya, tidak terkulai.
Olehnya itu, terkait rencana pembangunan PLTA di Wilayah adat Seko (Seko Tengah; Amballong, Hoyane, dan Pohoneang), Masyarakat punya hak asasi untuk mengeluarkan pendapat, punya hak asasi berkumpul dengan sesama orang yang sepaham, punya hak asasi apakah mereka mau berjongkok atau menungging, sepanjang tidak membawa malapetaka bagi yang lain.
Hak asasi sama pentingnya dengan sepiring nasi. Tak seorang pun, yang diperbolehkan merampas hak itu dari diri seseorang, termasuk hak asasi yang dimiliki masyarakat Seko. Begitu hak tersebut terampas, maka mereka bukan lagi manusia biasa, melainkan semacam segumpal asap.
Kalau kita bilang, setelah pembangunan PLTA berjalan, nanti akan ada ganti rugi, akan ada relokasi, itu penyelesaian korporasi, mudah sekali bagi korporasi untuk melakukan itu, tetapi apakah masyarakat Seko Tengah yang terkena dampak langsung akan bergembira dengan adanya ganti rugi dan relokasi? Dimana konsekuensinya mereka harus meninggalkan ruang hidup yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka secara turun temurun.
Hal ini penting untuk dipertimbangkan oleh pemrintah (Negara), tidak boleh diabaikan. Karena pada hakikatnya, Negara ini ada untuk menghargai, menghormati, dan memenuhi hak-hak setiap warga negara, sekiranya bukan karena ketiga hal itu, maka untuk apa ada Negara?
Seko adalah salah satu wilayah adat di Luwu Utara, hal itu sudah diakui oleh pemerintah melalui SK No. 300 dan juga PERDA No.12 Tahun 2004.
Seperti halnya masyarakat adat yang lain, Masyarakat adat Seko memiliki system hukum dan memiliki mekanisme pengambilan keputusan sendiri, yang telah dijalankan secara turun temurun ketimbang mekanisme yang dipaksakan dari luar, seperti penyelesaian administratif an sich yang selama ini dijalankan oleh pemerintah atau korporasi.
Mekanisme pengambilan keputusan masyarakat adat Seko yang sangat partisipatif, mungkin tampak bertentangan dengan gagasan dan harapan pemerintah atau perusahaan tentang perwakilan dan kebutuhan untuk mengikutkan seluruh lapisan masyarakat, seperti perempuan, pemuda, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat dalam proses pengambilan keputusan.
Akan tetapi sebagai masyarakat adat, Dalam proses pengambilan keputusan, keterlibatan seluruh pihak yang ada merupakan syarat utama bagi masyarakat adat Seko, tujuannya agar keputusan yang diambil betul-betul lahir dari kesepakatan bersama, masing-masing pimpinan adat hanyalah sebagai penyambung lidah masyarakat. Sehingga yang memiliki wewenang dalam proses pengambilan keputusan, sepenuhnya adalah peserta musyawarah/masyarakat.
Hal itulah yang dilakukan oleh masyarakat Seko Tengah (Wilayah adat Amballong, Pohoneang, dan Hoyane) pada tanggal 24 januari 2018 lalu. Dimana melalui mekanisme Mokobo (Musyawarah Adat), secara bersama-sama mereka kembali menyikapi rencana pembangunan PLTA, yang kemudian melahirkan keputusan dan pernyataan bersama sebagai berikut:
Pertama, Menolak secara tegas kehadiran PLTA Seko Power Prima di wilayah adat Seko Tengah sebagaimana yang memang sudah ditolak secara penuh sejak tahun 2013 sampai saat ini.
Kedua, Masyarakat Adat Seko Tengah menolak memberikan tanah adat ulayatnya kepada perusahaan PT Seko Power Prima, karena merupakan tanah pusaka sebagai tempat bagi orang Seko untuk menegakkan identitas, jati diri, sejarah dan nilai sebagai orang Seko yang sudah ada selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun.
Ketiga, Tanah bagi orang Seko khususnya di Seko Tengah adalah merupakan bagian utama dari kehidupan dan penghidupan yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Seko, dimana hampir seluruh masyarakat adat Seko Tengah hidup sebagai petani, yang mana tanah Seko yang terletak di jantung Sulawesi adalah tanah tersubur di pulau Sulawesi, sehingga mampu memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat dari hasil bertani.
Pengambilan keputusan melalui Mokobo/Musyawarah Adat ini bukan hanya sekedar mencawang kotak diatas kertas, melainkan sebuah proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif, melalui mekanisme yang secara turun temurun telah mereka jalankan.
Pada situasi ini, kita akan melihat, apakah pemerintah dan pemrakarsa proyek akan memperlihatkan itikad baik, untuk menghormati hak masyarakat, serta nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat.
Tegasnya, apakah pemerintah dan pemrakarsa proyek akan menerima serta mematuhi keputusan yang diambil oleh masyarakat sekalipun memiliki yuridiksi atas wilayah Seko.
Atau justru sebaliknya, tetap akan melanjutkan dan memaksakan pembangunan PLTA tersebut dengan segala konsekuensi yang ada.
Jika demikian, maka timbul pertanyaan, untuk siapa sesungguhnya pembangunan PLTA tersebut? Mengapa dipaksakan, Sedangkan masyarakat sendiri selaku pemangku hak jelas-jelas menolaknya.
Pertanyaan ini tentu saja bukan untuk Dilan, tetapi untuk pemerintah dan pemrakarsa proyek PLTA.
Oleh: Rais Selle