Oleh ; Afrianto S.Pd
(Pekerja sosial di WALLACEA divisi pendidikan hukum rakyat)
Setelah saya membaca tulisan R. Herlambang Perdana tentang Bukan (Sekadar) “Good Governance”. Ada kegelisahan yang sama melihat problem tersebut. Betapa tidak, korupsi yang masih mengakar di tubuh pejabat kita dan meluasnya kemiskinan sosial-ekonomi. Sehingga banyak pertanyaan yang muncul dalam diri saya, Apakah rakyat yang salah dalam memilih pemimpin di Negara ini ? ataukah memang yang disuguhkan partai kepada rakyat adalah orang – orang yang tak bermoral dan pragmatis ? ataukah system demokrasi di Negara kita ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi rakyat ?
Beragam perspektif yang muncul ketika kita bicara soal pemerintahan dan sebuah konsep demokrasi, ada yang sepakat dan ada pula yang tidak simpati terhadap kata demokrasi, bahkan demokrasi dianggap sebagai sebuah system yang haram digunakan, dikarenakan menurut pendapat mereka bahwa kedaulatan tertinggi itu berasal dari Tuhan dan bukan berasal dari rakyat. Sesunggunhya demokrasi pertama –tama merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu dari,oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih parftisipatif, demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh,untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya meyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan system penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri.
Negara Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk besar di dunia dan beraneka ragam kultur masyarakatnya tentunya mempunyai cara pandang masyarakatnya yang berbeda, System kenegaraan yang pada awalnya menggunakan system kerajaan, kemudian beralih menjadi system parlementer dengan menggunakan sistem penunjukan kepala Negara yang diserahkan sepenuhnya kepada dewan Perwakilan dan terakhir menggunakan system demokrasi dimana kepala Negara/presiden dipilih melalui pemilihan langsung secara bebas, Dua model pemerintahan yang pernah dan sekarang diterapkan di Indonesia ternyata juga masih memiliki tanda Tanya besar, bahwa betulkah system tersebut sudah sampai pada substansi demokrasi yang diinginkan rakyat? mari kita melihat dan menganalisis dari sistem yang dimaksud.
Pertama, Sistem parlementer yang menggunakan model penunjukan kepala Negara yang diserahkan sepenuhnya ke dewan perwakilan. Pada dasarnya, system yang digunakan ini menutup akses dan kebebasan masyarakat menentukan keinginannya karena hanya diwakili oleh segelintir orang, rakyat pun tergadai ole kepentingan individu –individu di dalam dewan perwakilan rakyat. Dalam sejarah Indonesia (orde lama –orde baru) sesungguhnya tidak bisa dilepaskan keberadaan kelas menengah yang sangat berpengaruh mewarnai kehidupan politik sedari awal pembentukan konstitusi dan perombakan pemerintahan. Beberapa partai yang pernah ada pada saat itu pun banyak melakukan penghianatan/dosa besar terhadap masyarakat Indonesia. kepentingan rakyat tergadai dari sebuah putusan – putusan politik yang tidak lain berangkat dari kepentingan kelompok (partai) untuk sebuah kekuasaan.
Kedua, system demokrasi yang memberikan akses penuh terhadap masyarakat secara bebas untuk menetukan nasib mereka. Dalam sejarah awal pembentukan “konstitusi rakyat 1999”. Tidak dipungkiri, bahwa proses pembentukan konstitusi 1999 di Indonesia merupakan proses yang masih belum demokratik walau melibatkan publik secara luas dan melalui mekanisme cukup panjang dalam sejarah amandemen konstitusi. Tapi ada beberapa hal yang menarik yang mesti didiskusikan dan dianalisis dari system ini, bagaimana peran partai ? bahwa benarkah partai sebagai media/sarana untuk menentukan pilihan/kepentingan rakyat secara menyeluruh telah bersikap demokratis ataukah malah otoritarian.
Ada sebuah fenomena menarik dalam kepartaian dan sudah menjadi rahasia public, bahwa dalam penunjukan calon terpilih untuk masuk dalam konstalasi atau sebagai kontestan dalam pesta demokrasi, baik itu pemilihan presiden, gubernur, atau bupati, terkesan menjadi lembaga profit yang tidak lain hanya memberi ruang bagi kalangan – kalangan capitalis (pemodal) sehingga ruang demokrasi itu tidak lagi terbuka, bahkan pada akhirnya dari keinginan rakyat itu terakomodir dari kalangan elit –elit dipartai untuk menentukan layak atau tidaknya . Sadar atau tidak sadar bahwa beberapa persoalan di Negara ini mulai dari pusat sampai pada tingkat local, tidak dapat dipungkiri bahwa penyebabnya dikarenakan oleh kepentingan – kepentingan elit- elit partai dan perbedaan ‘bendera’ kepartaian. Dan alangkah mirisnya lagi, pada saat Pertarungan memperebutkan kursi kekuasaan, ramai – ramai mereka turun ke komunitas –komunitas kecil dan memberi isyarat bahwa rakyat akan sejahtera dan makmur, namun semua itu terkadang hanya isapan jempol dan pemanis bagi mereka yang berada dilorong – lorong kumuh dan miskin.
Seharusnya, ada beberapa hal yang mesti direfleksi dinegara kita, sehubungan dengan model kepartaian yang diterapkan sebagai sebuah wadah/media dalam tata pelaksanaan system demokrasi, sehingga tidak berkesan bahwa partai sebagai kendaraan politik hanya milik orang per orang saja dan tidak demokratis.
Kita tahu bahwa momentum pemilihan legislatif sudah dimulai, semua kandidat dari berbagai partai telah sibuk memasang baliho dan mengkampanyekan visi – misi masing -masing. Situasi ini menjadi tak asing lagi bagi masyarakat indonesia. Ada yang beranggapan bahwa kesemuanya itu adalah “retorika kebohongan”, ada juga yang menilai bahwa proses ini menjadi ruang bagi masyarakat untuk menentukan perjalanan 5 tahun kedepan indonesia. Hal ini menjadi senada sesungguhnya jika apa yang ditawarkan oleh partai berbanding lurus dengan keinginan masyarakat (kapasitas, komitmen, pro rakyat). Tapi terkadang masyarakat memandang bahwa calon yang didorong oleh partai tidak memiliki kualitas pemahaman dalam mengelola/memanajemen pemerintahan, kebanyakan yang direkrut oleh partai adalah pemilik modal dan bahkan berlatar belakang preman.
Inilah sesungguhnya yang menjadi akar persoalan dalam masyarakat sehingga muncullah berbagai kekerasan oleh pemerintah sehingga kekerasan dianggap sebagai sarana/senjata ampuh untuk menjalankan pemerintahan. Perorangan serta pihak-pihak lain dalam masyarakat barang tertentu dapat juga melakukan kekerasan, tetapi itu pada dasarnya tidak diperbolehkan. Dengan demikian penggunaan kekerasan ada hubungannya dengan kewenangan dan demikian juga berhubungan dengan hak dan hukum. Penggunaan kekerasan oleh pemerintah pada dasarnya dilindungi dan dibenarkan oleh hukum. Sedang yang lain tidak. Pada tema di atas, penulis berupaya untuk merefleksi keadaaan sosial dengan tidak mengesampingkan realitas/fakta sosial dan berbagai argumentasi tokoh sehingga apa yang disampaikan sebelumnya di atas berupaya untuk mengajak kita semu merefleksi keadaan yang terjadi di negara kita bahwa pertarungan kekuasaan hanya menjadi ruang bagi kelompok elit yang seyogyanya menjadikan masyarakat sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan, inilah yang dimaksud dengan Teori dominasi dimana menjelaskan adanya ketidaksetaraan hirarki sosial berdasarkan kelompok merupakan hasil dari pendistribusian nilai sosial (social value) secara tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat, baik nilai sosial positif maupun negatif. Ketidaksetaraan distribusi dari nilai sosial ini, pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh ideologi sosial, keyakinan, mitos, dan doktrin religius tertentu sebagai alat pembenaran. (Sidanius dan Pratto, 1999)
Tentu bukan maksud demokrasi untuk memunculkan sekalian hal yang tidak bermutu dan kasar itu. Namun, jikalau memang stok atau persediaan serta modal sosial/manusia yang ada pada kita hanya sampai di situ, apa boleh buat. Alih-alih demokrasi membawa kita kepada peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan, malah mendongkrak bangkitnya kehidupan berkualitas kasar dan rendah. Kita menjadi makin sadar, demokrasi adalah untuk membangun kehidupan yang berkualitas, dan untuk menjamin itu kehadiran partai politik, pemilu, dan lain-lain kelengkapan demokrasi sama sekali tidak cukup. Di atas itu kita membutuhkan pembangunan dan kehadiran manusia berkualitas (satjipto rahardjo). Kiranya sulit bagi kita untuk mengelak dari pilihan, meneruskan demokrasi dan demokratisasi seperti ini atau membangun manusia Indonesia berkualitas lebih dulu. Mungkin kita sedikit berhasil membangun institusi demokrasi, tetapi gagal mengangkat bangsa kita menjadi bangsa yang berkualitas di dunia.