OPINI | Lagaligopos.com – Wajah para elite dan partai politik akhir-akhir ini tampak kian buruk rupa akibat aneka tindak melawan hukum dan amoralitas mereka: korupsi para elite partai, suap terhadap petinggi partai, kongkalikong anggota Dewan, manipulasi anggaran departemen, pesta narkoba elite partai, atau skandal seks para pejabat. Tindak melawan hukum dan amoralitas seakan jadi wabah di lembaga-lembaga partai, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pemerataan kejahatan di tubuh partai politik menjadi indikator keroposnya pilar etika politik, di mana dorongan kuasa meminggirkan kebenaran, yang menggiring pada kondisi ”darurat demokrasi”—the democratic emergency.
Politik eksepsi
Dalam realitas sosial-politik, darurat adalah kondisi ketika aneka tindakan, keputusan, dan kebijakan yang tak biasa terpaksa dilakukan oleh otoritas tertentu untuk menghindari keadaan lebih buruk, tetapi ironisnya dengan mendistorsi aturan hukum. Darurat demokrasi adalah kondisi ketika tindakan tak biasa harus dilakukan untuk mengatasi aneka tindak melawan hukum dalam sistem demokrasi.
Tindak melawan hukum dan amoralitas mewabah di dalam partai politik karena di dalam ruang politik dan hukum begitu banyak keadaan eksepsi (state of exception), yaitu ketimpangan antara hukum publik dan fakta politik, karena garis batas ambigu, tak pasti, dan liminal dalam titik persilangan hukum dan politik. Hukum ditegakkan, tetapi ia tak dapat diterapkan karena tak memiliki kekuatan.
Ada ruang anomi, di mana kekuatan hukum dimentahkan kekuatan politik sehingga penegakan hukum tanpa kekuatan hukum itu sendiri. (Agamben, 2003)
Keadaan eksepsi menyebabkan banyak kekuatan jahat (konspirasi, persekongkolan, mafia) tak tersentuh hukum. Kejahatan tak tersentuh ini merupakan gejala tak berjalannya hukum publik, yang mengalami gangguan, kemacetan, dan ketidakberdayaan. Hukum publik ditegakkan, tetapi aparatus penegaknya (kejaksaan, kehakiman, kepolisian) mengalami kerusakan dan kemacetan, yang menyebabkan hilangnya harapan akan kebenaran hukum.
Sumpah yang diucapkan para pejabat publik yang melanggar hukum (korupsi, suap, kongkalikong, narkoba, asusila) bukan sumpah palsu karena diucapkan dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, sumpah asli itu diucapkan untuk dilanggar. Inilah kondisi eksepsi: sumpah diucapkan sebagai bagian formalitas hukum dan institusi, tetapi ia tak memiliki kekuatan.
Janji dan sumpah adalah dua elemen wacana politik yang memiliki eksistensi berbeda. Janji politik adalah ucapan (melalui kampanye, iklan politik) yang menyatakan tentang kesediaan atau kesanggupan berbuat sesuatu bagi masyarakat umum. Sementara, sumpah adalah sebuah jaminan hukum atas tindakan yang harus dilakukan dalam kapasitas sebagai pejabat publik. Eksepsi adalah kondisi ketika janji maupun sumpah kehilangan makna.
Demokrasi adalah sistem politik yang mensyaratkan simetri dan kesesuaian antara janji atau sumpah dengan tindakan politik. Ketika tindakan politik bertentangan dengan janji, perilaku bertolak belakang dengan sumpah, realitas politik berseberangan dengan hukum publik, demokrasi terdistorsi dari makna esensialnya. Di sini, demokrasi disimpangkan melalui manipulasi bahasa dan jargon, untuk menutupi aneka realitas kejahatan di dalamnya.
Demokrasi pasar
Demokrasi merepresentasikan tak hanya model kekuasaan rakyat yang didelegasikan kepada elite politik, tetapi yang lebih penting ”ruang bersama”, yang di dalamnya dibangun dunia bermakna. Res publica adalah ”perkara publik” yang dibicarakan di dalam ruang publik, melalui ikatan asosiasi dan komitmen bersama yang dibangun di dalamnya. Res publica mengkristal melalui seperangkat kebaikan umum (common good) sebagai fondasi body politic, yang terbuka bagi penilaian publik. Di dalamnya, setiap orang menampilkan cara berbicara, gestur, pakaian, dan model interaksi untuk membangun citra dan makna politik.
Demokrasi tanpa makna dan kebenaran adalah demokrasi yang tanpa nilai kepublikan. Di dalamnya, makna dan kebenaran diambil alih jargon. Jargon menjanjikan kebahagiaan atau kebenaran, tetapi hanya menampilkan bayang-bayangnya: mengatakan sesuatu yang tak ada realitasnya, menjanjikan sesuatu yang tak akan terpenuhi, mengucapkan sumpah untuk dilanggar.
Inilah demokrasi pasar, di mana kekuatan modal digunakan untuk memanipulasi kebenaran melalui pencitraan. (Jean Luc Nancy, 1993)
Akan tetapi, demokrasi pasar kini menjelma demokrasi pasar gelap ketika demokrasi tak hanya dikendalikan kekuatan modal, tetapi juga oleh kekuatan tak tampak (invisible power). Inilah kekuatan rahasia yang bersifat anti-kekuasaan (anti-power), dalam bentuk konspirasi, konsensus jahat, mafia, persekongkolan dan kongkalikong di antara para elite politiknya. (Bobbio, 1987)
Demokrasi memberi ruang tawar-menawar, transaksi, negosiasi, kompromi, kesepakatan, persetujuan, dan konsensus di antara para elite dan komunitas politik di dalam ruang publik relatif terbuka. Akan tetapi, dalam demokrasi pasar gelap, aneka transaksi, negosiasi, dan konsensus itu dilakukan secara rahasia, tak tampak dan ilegal, yang mendorong aneka bentuk korupsi, suap, kongkalikong, mafia dan skandal, yang ironisnya melibatkan aparat hukum sendiri
Darurat demokrasi adalah kondisi ketika tindakan tak biasa harus dilakukan untuk mengatasi pasar gelap demokrasi—yang mendorong korupsi, suap, kongkalikong, skandal—yang justru melibatkan aparatus hukum. Hukum publik tak bekerja karena aparat hukum dan pejabat publik menjadi bagian pasar gelap itu, yang mementahkan aneka keputusan hukum: hukuman yang ringan, penangguhan penahanan, dan pengulur-uluran kasus.
Aneka perlawanan terhadap kerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memberantas korupsi, suap, dan kongkalikong oleh aneka kekuatan tak tampak kian menegaskan pentingnya darurat demokrasi, yaitu dibangunnya kekuatan suplemen untuk melawan eksepsi hukum, agar kekuatan hukum tidak dimentahkan oleh kekuatan politik.
Kekuatan rakyat—yang dimanifestasikan melalui aneka media sosial—dapat menjadi kekuatan suplemen dalam melawan kekuatan tak tampak itu.
Oleh: Yasraf Amir Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan