OPINI | Lagaligopos.com – Menjelang dan selama masa pemilu, nama ”rakyat” selalu ramai disebut, dibicarakan, diwacanakan, ditulis, dinarasikan, ditampilkan, dan ditayangkan di ruang-ruang komunikasi politik. Eksistensi ”rakyat” kini begitu penting dibandingkan hari-hari biasa.
Aneka bentuk narasi, cerita, rencana, visi, dan program yang diwacanakan melalui aneka komunikasi politik, semuanya disampaikan ”atas nama rakyat”. Rakyat kini menjadi figur sentral retorika politik.
Meski nama ”rakyat” sering disebut dalam setiap pesta demokrasi, tak berarti mereka secara substansial memainkan peran sentral dalam proses demokrasi. Kata ”rakyat” memang dieksploitasi secara semiotik dan semantik dalam aneka wacana dan retorika politik, tetapi eksistensi mereka sesungguhnya dikerdilkan karena rakyat dalam sistem demokrasi mutakhir direduksi menjadi sekadar ”konsumen” dari produk ”kapitalisme politik”, dalam ruang demokrasi yang telah direduksi menjadi etalase ”pasar politik”.
Dalam kondisi kapitalisasi politik—saat kapital, uang, dan materi jadi kekuatan utama politik—kekuasaan rakyat sebagai esensi demokrasi diambil alih kekuasaan kapital yang mengondisikan rakyat sebagai ”buruh” sekaligus ”pembeli” produk para kapitalis politik yang dipasarkan di dalam pasar politik. Rakyat yang telah dilucuti kekuasaannya kini jadi target pemasaran politik, yang dieksploitasi suara mereka. Pesta demokrasi kini bukan bermakna pertarungan politik ”demi rakyat”, melainkan ”demi suara rakyat”.
De-demokratisasi
Demokrasi yang secara genealogis bermakna ’kekuasaan di tangan rakyat’ (rule by the people), dalam realitasnya tak mungkin direalisasikan dalam sistem negara modern, saat ”rakyat” hadir dalam jumlah masif. Demokrasi perwakilan adalah solusi, saat kekuasaan rakyat diwakilkan kepada individu yang dipilih oleh rakyat. Perwakilan dari rakyat kepada individu ini yang selalu menimbulkan masalah pelik dalam demokrasi karena selalu ada ”jarak” antara rakyat dan individu-individu yang mewakili mereka.
Karena ”rakyat”—yang berjumlah masif—tak mungkin berkuasa, nama ”kekuasaan rakyat” sesungguhnya ”nama yang bukan nama”, nama tanpa realitas, karena pemilik kekuasaan sesungguhnya ”seseorang” atau ”sekelompok kecil orang” yang dipilih rakyat. Artinya, ”kekuasaan di tangan rakyat” menjadi ”kekuasaan ditangan siapa pun” (rule by anyone). Di sini, demokrasi tak berbeda dari oligarki karena kekuasaan dipegang oleh sekelompok individu, bukan oleh rakyat dalam arti sebenarnya. ”Rakyat” tak lebih dari nama tanpa entitas (Ranciere, 2006).
Pemilu adalah sebuah pesta saat eksistensi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kembali dipertaruhkan. Kini, kata demos (rakyat) dan kratia (kekuasaan) di dalam pemilu dirajut kembali, seakan- akan pertarungan politik dalam pesta demokrasi, semuanya adalah demi ”kekuasaan rakyat”. Padahal, dalam realitasnya demos dipisahkan dari kratia karena rakyat kini bukan subyek kekuasaan, melainkan obyek yang dieksploitasi oleh para kapitalis politik demi mendapatkan kekuasaan melalui aneka retorika politik ”atas nama rakyat”.
Sebagai ”pesta demokrasi”, pemilu diramaikan suasana pesta: pidato, hiburan, arak-arakan, tari-tarian, karnaval, berbalas pantun, bahkan perang puisi, untuk mengiringi rakyat memilih para pemimpin. Akan tetapi, ini pesta siapa? Apakah ini pesta rakyat sebagai manifestasi kedaulatan rakyat? Sayangnya, pesta demokrasi kini bukan pesta perayaan kekuasaan rakyat, melainkan kekuasaan kapital yang dikerahkan untuk memanipulasi kesadaran dan ketaksadaran rakyat demi mendapatkan suara mereka.
Kapitalisme politik menciptakan kondisi ”de-demokratisasi” sehingga proses pembangunan demokrasi justru berbalik jadi proses penghancuran pilar-pilar demokrasi itu sendiri. Salah satu pilar adalah kekuatan demos, yaitu kedaulatan rakyat. Kekuatan rakyat kini ”dilucuti” dengan mendistorsi kekuatan riil mereka sebagai rakyat, menjadi sekadar ”konsumen” dari sebuah ”ruang politik” yang telah berubah menjadi ”pasar bebas politik”. Demos sebagai ”pemilik” kekuasaan demokratis, menjadi Homo consumericus, yaitu para konsumen tontonan kekuasaan.
De-demokratisasi adalah kondisi ketika ruang demokrasi dikendalikan kekuatan gabungan korporasi, parpol, dan kekuatan negara, di mana yang memiliki peran sentral di dalamnya adalah para bankir investasi, CEO korporat, broker, taipan media, branding consultant, dan event organization, dengan target utama mereka adalah akumulasi modal, untuk kemudian diinvestasikan di dalam ”pasar politik” demi kekuasaan (Brown, 2010).
”Pesta demokrasi” kini tak lebih pesta para Homo econo-politicus yang merayakan kelimpahan materi, timbunan uang, kekuatan media, dan popularitas untuk dihamburkan di ruang panggung hiburan, iklan televisi, pencitraan visual media, arak-arakan karnaval, bahkan bagi-bagi uang, semata untuk dapat suara rakyat. Rakyat sendiri bukan bagian dari ”pesta” ini karena mereka hanyalah ”penonton” ingar-bingar pesta perebutan kekuasaan dan tak memiliki kekuasaan apa pun, selain kekuasaan memilih di bilik suara.
Ketika rakyat disuguhi strategi pemasaran sophisticated layaknya pemasaran produk, komunikasi politik yang diubah jadi strategi branding, dan pertarungan calon pemimpin layaknya pertarungan brand, keberhasilan politik direduksi menjadi keberhasilan strategi media, pemasaran, dan branding. Pertarungan ideologi sebagai esensi politik hanya diberi tempat sejauh ia bisa dikonversikan jadi elemen pertarungan branding politik. Kemenangan politik kini ditentukan kecanggihan EO politik, bukan oleh kapasitas intelektual, kecerdasan, dan kepemimpinan.
Dalam kondisi ruang politik dikuasai kekuatan ekonomi, zoon politicon menjelma Homo economicus, dan demos dikerdilkan jadi Homo consumericus, sesungguhnya tak ada lagi ruang tersisa bagi rakyat. Pemilu yang semestinya pesta rakyat jadi pesta para oligarch, yang menginvestasikan timbunan kapitalnya demi mendapatkan suara rakyat. ”Demi rakyat” sebagai esensi dari sistem demokrasi dimanipulasi menjadi ”demi suara rakyat”.
Tirani angka
Pesta demokrasi juga diramaikan oleh kehadiran lembaga survei lewat jajak pendapat dan penghitungan cepat (quick count) yang tentu sangat membantu dalam mempercepat proses pemilihan. Tak kurang dari 56 lembaga survei dan penyelenggara hitung cepat terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Menjamurnya lembaga survei ini penanda sangat sentralnya peran angka dalam demokrasi. Pemilu adalah bagian prosedur politik, khususnya terkait dengan penggunaan hak warga untuk memilih. ”Suara” secara administrasi-prosedural adalah representasi matematis dari aspirasi, keinginan, keyakinan, kepentingan, dan ideal-ideal individu sebagai warga. Dengan memberikan suara sama artinya menyampaikan aspirasi, keinginan, dan ideal-ideal, yang nanti direalisasikan pemimpin terpilih.
Secara eksistensial, suara adalah manifestasi vox populi vox dei, yaitu suara rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam demokrasi sehingga dipandang seakan-akan seperti ”suara Tuhan”. Namun, dalam sistem demokrasi—seperti ditunjukkan dalam pemilu—”suara rakyat” yang memiliki dimensi-dimensi makna eksistensial-transendental direduksi jadi ”angka”, sebagai faktor tunggal-absolut penentu kemenangan dalam pemilu. Demokrasi macam ini membawa pada semacam ”tirani angka” (the tyranny of number), yaitu prinsip mayoritas mengalahkan prinsip pluralitas opini, keyakinan, dan ideologi. Padahal, angka tak sama dengan kebenaran. Angka tinggi bukan jaminan pemimpin terpilih adalah pemimpin terbaik (Badiou, 2008).
Kecenderungan ”fetisisme angka” macam ini—perayaan angka sebagai ukuran tunggal-absolut pertarungan politik—telah menjauhkan politik dari ”yang politik” (the political), yaitu pluralitas keyakinan, ideologi, dan ideal-ideal politik yang bersifat antagonis satu sama lain. ”Yang politik” hanya ada jika ada pertarungan hegemoni berbasis ideologi (Mouffe, 1993). Angka tercabut dari politik ketika angka itu diperoleh bukan dari pertarungan ideologi, melainkan pertarungan kekuatan non-ideologis: materi dan pencitraan.
Tirani angka membentangkan jurang dalam, terkait dua sistem legitimasi saling bertentangan dalam konteks memilih pemimpin. Di satu pihak, legitimasi melalui pemilihan umum berupa popular vote, yaitu jumlah suara tertinggi menjadi ukuran kemenangan politik. Di pihak lain, legitimasi melalui kemampuan memilih solusi terbaik bagi aneka masalah bangsa. Ironisnya, ”pemimpin terbaik” hanya dapat dilahirkan melalui sebuah mekanisme saringan pengetahuan obyektif tentang kapasitas kepemimpinan yang melibatkan berbagai pakar multidisiplin, bukan melalui popular vote (Laclau, 2005).
Jurang antara ”pemimpin ideal” (yang memiliki kapasitas menyelesaikan aneka masalah bangsa) dan ”pemimpin populer” (yang dipilih karena mampu membangun sentimen-sentimen pada mayoritas) berulang dalam setiap pesta demokrasi. Selalu ada jurang antara ”kebutuhan bangsa” dan pemimpin yang ”dilahirkan” melalui popular voting. Kini, pesta demokrasi layaknya pentas Indonesian Idol, yang dibangun dan dilahirkan adalah para ”idola politik”, yang populer karena mampu membangun diri sebagai media darling.
Sebuah kesadaran publik layak dibangun bahwa pesta demokrasi bukan pesta ”masyarakat tontonan”, arena sirkus pemasaran, tontonan fund-raising event organization, branding, dan mobilisasi massa demi suara rakyat. Esensi demokrasi adalah setiap calon pemimpin yang bertarung dalam pertarungan politik, seperti pemilu, membawa beban amanat ”kekuasaan rakyat”, yaitu mengajukan diri sebagai calon pemimpin ”demi rakyat”. Demokrasi lebih dari sekadar angka, lebih dari sekadar populer dalam jajak pendapat!
Demos bukan Homo consumericus dari panggung tontonan pertarungan kekuasaan, tetapi ”sang pemilik” kekuasaan itu sendiri. Hak dan kebebasan rakyat dalam memilih harus diartikan sebagai kebebasan di atas fondasi ”kekuasaan rakyat”. Rakyat yang dikonversikan menjadi ”konsumen politik” tak lebih dari massa yang menjadi sasaran dan target aneka strategi ”pemasaran politik”, yang kesadaran dan ketaksadarannya dieksploitasi melalui aneka teknik psikografis, branding, dan pemasaran, agar mereka memilih secara bebas dalam kondisi pilihan-pilihan sudah ditentukan melalui mekanisme ”pasar politik”.
Pesta demokrasi harus dipandang sebagai pesta untuk membangun dua legitimasi tentang kedaulatan rakyat. Di satu pihak, memulihkan kedaulatan rakyat, membebaskan mereka dari cengkeraman kapitalisme politik, menjauhkan mereka dari ilusi media yang menyesatkan, mengangkat mereka dari sekadar konsumer politik. Di pihak lain, mengentaskan mereka dari kondisi ketakberdayaan, menjadikan mereka ”subyek” dan ”produser” politik, membangun kualifikasi rakyat agar memiliki kekuatan mandiri dalam menentukan aspirasi dan pilihan politik.
Oleh: Yasraf Amir Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Sumber: KompasCetak, Edisi 28/4/14