OPINI, Lagaligopos.com – Ketika kita menyaksikan realitas politik yang diciptakan para politikus di negeri ini, dengan kasat mata kita bisa melihat struktur politik yang dibangun dengan imajinasi pupuler, sebuah ruang, waktu, dan tanda politik yang dibentuk, disesaki, dan dipenuhi laku politik yang bersifat dangkal, remeh-temeh dan bermutu rendah.
Orang-orang yang lahir dari rahim partai politik begitu canggih memainkan seni verbalisme politik demi kepentingan diri dan kelompok (partai)-nya. Mereka menggunakan partai politik sebagai mesin pencetak harta kekayaan dan kekuasaan. Mereka hanya mengedepankan hal-hal yang yang bersiat duniawi dengan mengesampingkan dunia eskatologis. Di sinilah sifat materialistis-hedonistis mendapatkan tempatnya.
Celakanya, tidak sedikit politikus, baik di tingkat pusat maupun daerah, saat ini sangat gemar mengembangkan imajinasi populer tersebut. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, kader-kader partai malah bekerjasama melakukan korupsi dan terlibat “kongkalikong” dengan para aktor ekonomi (misalnya pengusaha) yang seringkali sangat merugikan kepentingan rakyat banyak.
Realitas politik
Inilah realitas politik yang sering kita saksikan yang dilandasi imajinasi dan fantasi-fantasi yang dibangun secara sadar oleh individu atau kelompok (politikus, partai politik) untuk membedakan mereka dengan orang atau kelompok lainnya. Imajinasi populer yang dicirikan oleh sifat-sifatnya yang murahan, rendah, vulgar, umum, rata-rata atau rakyat kebanyakan, kini telah digunakan untuk menghimpun massa dalam berbagai wacana politik sebagai massa populer.
Yasraf Amir Piliang dalam bukunya “Dunia yang Dilipat” menjelaskan bahwa Imajinasi populer ini terdapat setidak-tidaknya empat bidang, yaitu cara berpikir populer, komunikasi populer, ritual populer, dan simbol populer. Pertama, cara berpikir populer, yaitu cara berpikir yang dipengaruhi oleh berbagai wacana budaya populer, seperti televisi, media massa, dunia hiburan dan dunia seni populer, yang dicirikan oleh sifat-sifat kedangkalan, permukaan dan selera massanya.
Dalam konteks politik, termasuk ke dalam cara berpikir populer adalah berbagai wacana politik populer yang dikembangkan politikus, yang dikemas dengan cara tertentu yang seakan-akan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan politik. Padahal, para politikus itu hanya memproduksi cara berpikir politik yang sangat dangkal.
Kedua, komunikasi populer, yaitu berbagai bentuk komunikasi politik yang dicirikan oleh sifat-sifat dangkal ketimbang kedalaman, permukaan ketimbang substansi, lebih menghibur ketimbang mencerahkan, lebih menawarkan rasa kesenangan ketimbang ilmu pengetahuan, lebih membangkitkan sensasi ketimbang substansi.
Hal ini bisa berwujud bahasa, tindakan, dan penampilan populer politikus. Berbagai psikologi massa, sebagaimana digunakan di dalam budaya populer, kini digunakan di dalam wacana politik, seperti cara-cara untuk membangkitkan dan mengendalikan emosi (simpati, empati) rakyat. Misalnya, di televisi para politikus korup bertindak sebagai orang yang harus dikasihani, agar rakyat memaafkan tindakan korupnya. Bahkan, ada politikus yang siap digantung di Monas sekalipun demi meyakinkan rakyat bahwa ia tidak terlibat korupsi serupiah pun.
Ketiga, ritual populer, yaitu berbagai bentuk ritual politik yang secara massal dilakukan mengikuti paradigma budaya populer, yang dalam pelaksanaannya menggunakan logika komoditas. Ritual-ritual itu ditata sedemikian rupa sesuai dengan prinsip perbedaan sosial. Kegiatan ritual politik digiring ke dalam perangkap artifisialitas, permainan bebas bahasa dan citra sebagai cara dalam menciptakan imajinasi kolektif dan pemanipulasian pikiran massa.
Misalnya, tempat rapat atau pertemuan mewah yang digunakan orang-orang partai yang membedakan tempat rapat partai lainnya. Mereka terkadang tidak peduli apakah kemewahan yang ditampilkan tersebut menyakiti hati rakyat yang masih menderita kemiskinan atau tidak. Yang ada dalam benak mereka adalah penunjukkan keterpesonaan yang serba “wah”.
Keempat, simbol populer, ini artinya bahwa simbol-simbol populer digunakan di dalam berbagai praktik politik. Simbol pupuler yang identik dengan penampilan populer mengarahkan pada penampilan yang mencakup mulai dari pakaian sampai rambut dan eksesoris yang menekankan efek-efek kesenangan, simbol, status, tema, prestise, daya pesona, dan berbagai dorongan selera rendah lainnya tanpa mengutamakan substansi politik. Pendeknya, aktor-aktor politik hanya mengutamakan kulit luar politik tanpa memikirkan isi, makna, dan hakikat politik itu sendiri.
Banalitas politik
Ada berbagai akibat dari masuknya imaninasi populer ke dalam aktivitas politik ini, yaitu banalitas politik. Ini mengindikasikan bahwa apapun yang selama ini dianggap profan, nafsu rendah, remeh-temeh, dan banal menurut pandangan politik, kini justru menjadi bagian wacana politik itu sendiri. Baik/buruk, benar/salah, pantas/tak pantas, dan sejenisnya kini dikaburkan dan digiring pada logika budaya baru, yaitu logika banalitas politik. Politik berada di tempat yang rendah, remeh-temeh, murahan dengan mengambil alih nilai-nilai dan budaya luhur politik (kesantunan, kebaikan, kemuliaan, dan kejujuran).
Di dalam praktik politik yang telah tercuni imajinasi populer, sesuatu dulu yang dianggap tidak penting (seperti penampilan, sifat menghibur, gaya pakaian, gaya penampilan) kini menjadi sangat signifikan, dan mendominasi ruang-waktu aktivitas para politikus serta menjadi jantung kehidupan politik itu sendiri.
Di media massa, misalnya di televisi, kita bisa menjumpai seorang politikus terlihat lebih mementingkan gaya penampilannya ketimbang pencapaian tujuan politik seperti yang diajarkan Plato atau Aristoteles, yaitu mencapai masyarakat politik yang terbaik dan menggapai kebaikan bersama. Mereka lebih mementingkan gaya bicara, ketimbang esensi politik. Dalam keadaan semacam itu, yang muncul adalah “pementingan yang banal”.
Inilah imanjinasi populer yang saat ini sedang digandrungi kebanyakan politikus di nusantara ini yang kini telah menghadirkan banalitas politik. Dan tentunya, gaya politik semacam ini telah merenggut praktik politik dari ruang keluhurannya. Hal yang harus dilakukan para politikus sekarang adalah menjalankan tujuan politik sebaik-baiknya, yaitu sebagai alat untuk mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia, bukan memakmurkan individu atau kelompok (partai) tertentu.
Oleh: Ahmad Ubaidillah, Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
