OPINI, Lagaligopos.com – Kabut duka seakan tak henti mendera tubuh bangsa. Kabut duka gempa, kabut duka bencana. Gempa itu membentuk lorong gelap kehidupan. Duka itu meremukkan ruang hati, kelam itu mengguncang pintu jiwa, kabut itu menggelar ketakpastian.
Akan tetapi, bencana gempa itu sendiri adalah sebuah kabut. Gempa adalah sebuah kegelapan, sebentuk ketakpastian, selembar kekaburan. Gempa tak pernah dapat diprediksi. Pikiran tak kuasa menangkap tanggal pastinya. Akal tak mampu menentukan lokasi jelasnya. Nalar tak kuat menangkap detik waktunya.
Gempa adalah sebuah ketakterdugaan, ketakpastian, ketakberaturan. Gempa adalah sebuah chaos. Ia tak pernah terjadi di tempat yang persis sama. Ia tak pernah muncul di waktu yang persis tepat. Ia tak pernah datang di ruang yang persis serupa.
Ian Stewart, di dalam Predicting the Future (1993), mengatakan bahwa chaos adalah satu keadaan ‘ketakterprediksian’. Sebuah sistem tak bisa diprediksi di mana ia akan ditemukan di tempat berikutnya. Ia bergerak di hadapan kita seperti acak, tanpa pola, tanpa aturan, meskipun dunia sesungguhnya sebuah ‘keberaturan’ (order). Sehingga, sesuatu tak akan pernah muncul dalam keadaan yang sama untuk kedua kalinya.
Akan tetapi, tak hanya ada kabut bencana, kabut duka, kabut gempa. Tak hanya ada chaos dunia, ketakterdugaan alam. Sesungguhnya, ada kabut di dalam pikiran kita, ada gempa di dalam nalar kita, ada chaos dalam cara pikir kita. Tapi, kita tak pernah menyadarinya. Inilah ‘kabut pikiran’, ‘pikiran berkabut’, ‘pikiran chaotic’.
Memang, kata Mihaly Csikszentmihalyi di dalam The Evolving Self (2000), pikiran manusia pada dasarnya bersifat chaotic, pikiran manusia pada dasarnya ‘berkabut’. Chaos adalah kondisi ‘ketakterprediksikan’ atau ‘ketakterdugaan’, yaitu di dalam sebuah proses atau keadaan, orang tidak dapat memprediksi proses atau keadaan apa yang terjadi berikutnya.
Pikiran dibangun oleh ketakterprediksian. Tak seorangpun yang dapat memastikan apa yang akan ia pikirkan besok. Tak ada sebuah kesadaranpun yang dapat memprediksi apa yang akan disadarinya besok. Tak ada sebuah pandanganpun yang dapat melihat pasti masa depan.
Meskipun pikiran dibangun oleh kabut, oleh chaos, akan tetapi, nalar berupaya merubah disorder menjadi order, menguak ‘kabut’ menjadi ‘iluminasi’, merubah ‘kegelapan’ menjadi ‘pencerahan’. Itulah hakekat pengetahuan.
Pikiran mengalir secara acak, tetapi nalar berupaya mengaturnya, menciptakan pola. Ide dan imajinasi muncul dan menghilang dalam kabut ketakberaturannya. Akan tetapi, pikiran mampu mengelola dirinya, sehingga mampu mengubah kabut-kabut ketakberaturan menjadi ‘informasi beraturan’.
Pikiran mengekspresikan dirinya pada ‘bahasa’. Bahasa mencerminkan dan sekaligus ‘membentuk’ pikiran. Struktur bahasa menentukan struktur pikiran. Pikiran berkabut dimanifestasikan dalam bahasa berkabut. Chaos pikiran tercermin dalam chaos bahasa.
Akan tetapi, kekuatan bahasa dapat menguak ‘kabut pikiran’, bila ia mampu menciptakan ‘keberaturan’ dan ‘kepastian’. Bahasa tak berkabut agar mampu membentangkan kebenaran ‘terang benderang’. Bahasa menjadi penerang kabut pikiran. Bahasa menjadi sebuah bentuk pencerahan.
Akan tetapi, ada orang yang dengan sengaja menciptakan ‘bahasa berkabut’. Ia memelihara kabut itu. Ia sengaja melindungi ketapkastian. Ia sengaja menciptakan ‘kekaburan’. Inilah bahasa dengan struktur mengambang, tak-pasti, enigmatik, paradoks, ambivalen, kontradiktif. Bahasa memproduksi lorong ketakpastian.
Bahasa berkabut menciptakan ketakpastian semantik, kegalauan tanda, kegelapan makna. Ucapan-ucapan “pencemaran nama baik”, “pembunuhan karakter”, “penyalahgunaan wewenang”, “dugaan suap”, “dugaan pemerasan”, “kepentingan memaksa”—adalah di antara kata-kata berkabut itu, yang menciptakan lorong gelap semantika.
Ketika ekspresi bahasa menggiring pada ketakberaturan dan kekacauan, maka ia menciptakan ‘entropi’ (entropy). ‘Entropi’ adalah prinsip probabilitas yang menciptakan keacakan dan ketakterdugaan tinggi, bukan kepastian. Bahasa menjadikan orang menduga-duga, mengira-ngira, menebak-nebak, mengandai-andaikan, mencari-cari, membuat-buat, mengarang-ngarang.
‘Kabut bahasa’ cermin dari ‘kabut pikiran’. Kabut hitam pikiran adalah pikiran yang (sengaja) membiarkan dirinya di dalam chaos, kegalauan, kekaburan, ketidakpastian, ketakberaturan. Melalui bahasa, ia justeru hendak menutup titik terang keberaturan gagasan, ide atau konsep yang orisinil dan cerdas.
Ada kabut bahasa politik, ketika pernyataan politik tidak hendak mengungkapkan kebenaran (truth), tetapi memalsukan realitas. Bahasa politik menjadi ajang penciptaan ‘kabut semantik’, agar dengan kekaburan sebuah kepentingan politik menancapkan kukunya. Ketakpastian dijadikan sebagai sebuah komoditas politik, untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.
Bahasa politik menjadi sebuah ‘ilusi’. Istilah-istilah “partai wong cilik”, “berpihak pada rakyat”, “hati nurani rakyat”, “partai semua umat”, “bersama kita bisa”, “pembela bangsa” adalah di antara kata-kata berkabut, yang tidak terang realitasnya.
Bahasa menjadi sebuah ‘pembingkaian’ (framing), yaitu sebuah bentuk ‘pengungkapan realitas’ sekaligus ‘penyembunyiannya’, sebuah ‘pembentangan’ sekaligus ‘penghalangan’ ini, sebuah ‘penyingkapan’ sekaligus ‘menutupan’. Sesuatu dibiaran menampakkan dirinya, tetapi secara diam-diam mendistorsinya.
Akan tetapi kabut bahasa ada di mana-mana. Ia mengepung kita dari segala penjuru. Kita hidup di dalam kabut-kabut bahasa itu. Iklan-iklan dengan nyinyir tak henti-hentinya merayu kita bahwa ilusi yang dipertontonkannya adalah sebuah ‘realitas’. Sinetron-sinetron dengan gigih meyakinkan kita, bahwa fiksi-fiksi yang dipertontonkannya ada realitas diri kita yang sebenarnya. Berita-berita televisi dengan gesit menjelaskan pada kita, bahwa gemerlap canda dan tawa-ria yang disuguhkannya pada kita adalah sebuah ‘informasi’. Kita kini hidup di dalam ruang kabut-kabut bahasa. Kita kini menjadi kabut itu sendiri.
Oleh: Yasraf Amir Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Sumber: Facebook Yasraf Amir Piliang