PENANGKAPAN Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar baru-baru ini bak tsunami raksasa yang melanda bangsa. Semua perasaan terguncang, pikiran mengambang, dan hati nurani tercincang karena semua di luar ruang akal sehat.
Seakan mesin waktu membeku, logika serba terbalik, dan akal sehat sungsang. Betapa tidak, ketua MK—sebagai satu lembaga hukum tertinggi di negeri ini—justru ditangkap karena dugaan korupsi.
Alih-alih menegakkan hukum dan mencari kebenaran, aparat penegak hukum ini justru meruntuhkan kewibawaan hukum, menyubversi kekuasaan hukum, merusak citra lembaga hukum, dan menghancurkan pilar demokrasi sendiri. Aparat korup ini adalah “parasit”, yang merusak pilar-pilar demokrasi dari dalam. Ia merusak citra luhur hukum—kebaikan, kebenaran, keadilan, kemuliaan, kewibawaan— dengan menunjukkan tindak animalitas: nafsu rendah, keserakahan, kebiadaban.
Aparat korup ini bak “parasit”, yang “mengisap” dan merusak lembaga di mana ia hidup. Ia tak hanya mengambil materi (uang, barang, mobil mewah), tetapi “mengisap” simbol-simbol abstrak lembaganya: citra, konotasi, nilai, makna. Dirusak oleh aparat korup ini, lembaga hukum tertinggi ini terancam kehilangan legitimasi karena tak lagi dihormati dan dipercaya. Bahkan, efeknya meluas ke seluruh lembaga hukum, yang dicurigai telah ditumpangi aneka “parasit hukum”—law of the parasite.
Parasitisme hukum
Ketika aparat penegak hukum melakukan tindak kejahatan (korupsi) di lembaganya, ia melakukan dua kejahatan “parasit” sekaligus. Pertama, ia memperkaya diri dengan “mengisap” uang negara memanfaatkan lembaganya. Kedua, ia merusak citra lembaga sendiri, dengan menyubversi nilai-nilai luhurnya: kebenaran, kejujuran, keadilan. Ia adalah benalu, kutu, tuma, kuman, lintah, kecoak, tikus bagi lembaganya sendiri. Pantas, koruptor dianalogikan “tikus”.
Aparat parasit tak membangun relasi timbal-balik dan saling menguntungkan (symbiotic mutualism) dengan lembaganya, tetapi relasi asimetris satu arah: ia mengambil semuanya dan tak memberi apa pun. Berapa banyak lembaga “memberi” mereka (gaji tinggi, fasilitas mewah, jaminan), tapi mereka tak memberi apa-apa kepada lembaganya, malah merusaknya. Mereka malah mengisap, mencuri, mengambil, merampok dari atau atas nama lembaganya (host) (Serres, 1982).
“Paratisisme hukum” (parasitism of law) ialah “cara kehidupan dunia hukum”, di mana bekerja model parasit, yaitu segala aktivitas mengisap, menguras, memindahkan, menyedot, meraup, menyuling, mengeringkan, menyarikan, mencuri dan merampok “apa pun dari apa pun” dalam lembaga: makanan, uang, barang, energi, kekuasaan, pikiran. Inilah lukisan lembaga-lembaga hukum kita (Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Polri, MK) yang dihuni banyak parasit jahat.
Para aparat korup selalu bekerja melalui model relasi parasit satu arah (semiconduction), asimetri, tak-seimbang, timpang, neraca berat sebelah. Korupsi adalah simtom ketakadilan absolut (absolute injustice), yaitu ketakadilan yang tak tersisa sedikitpun keadilan di dalamnya. Di sini, konsep-konsep etis tak relevan: hak/kewajiban, jasa/imbalan, kebebasan/aturan. Tak pernah ada “aturan”, “konvensi”, atau “kontrak sosial” (social contract) di antara parasit dan host, antara para koruptor dan lembaganya.
Parasit hukum ini “berani” melakukan tindak melawan hukum—termasuk korupsi—karena ia “merasa” berada dalam “keadaan eksepsi” (state of exception), yaitu keadaan anomi, fragmentasi, dan tumpang tindihnya kekuatan lembaga-lembaga hukum, di mana norma-norma hukum berlaku, tapi tak bisa diterapkan untuk otoritas-otoritas tertentu karena tak memiliki kekuatan (force). “Perasaan eksepsi” ini mungkin yang ada di benak Akil Mochtar, padahal hukum tak pandang bulu, tak pandang kekuasaan dan otoritas (Agamben, 2005). Karena itu, aparat korup ini hidup di “ruang antara”, “daerah abu-abu” atau “median”. Inilah makna kata depan “para” dari istilah parasit, yaitu antara kiri dan kanan, benar dan salah, baik dan buruk—sebuah fluktuasi. Di ruang fluktuasi inilah aparat korup melakukan tindakan “kebaikan” dan “kejahatan” sekaligus: memutuskan perkara sambil merusaknya, membangun lembaga sambil menghancurkannya, menegakkan hukum sambil melumpuhkannya.
Berbeda dengan rakyat biasa, tindak kejahatan (korupsi) aparat hukum memiliki efek ganda, bahkan “efek berlipat ganda” (multiplying effects) karena mereka bagian “aparatus hukum” dalam “rezim kebenaran”, dengan segala norma, konsensus, dan kontrak sosial di dalamnya. Apabila aparat hukum melakukan tindak melawan hukum (korupsi), efek kerusakannya total: merusak diri sendiri (parasit), lembaga hukum (host), dan arsitektur demokrasi. Untuk itulah, aparat korup ini layak dicap “pengkhianat bangsa”.
Matinya aparatus
Aparat-aparat korup ialah bagian “aparatus hukum”, yang memiliki fungsi utama menegakkan hukum demi kebenaran. Ironisnya, alih-alih menegakkan hukum demi kebenaran, mereka justru merusak arsitektur hukum demi kekayaan. Padahal, sebagai bagian aparatus, aparat hukum punya tugas menghimpun, mengarahkan, mendeterminasi, memodelkan, mengendalikan atau memelihara tindakan, perilaku, opini, atau wacana publik menuju kebenaran (Agamben, 2009).
Ketimbang berperan mencegah, menghambat, atau menghilangkan tindak kejahatan (korupsi), mereka malah memelihara dan menguatkan mental korupsi. Misalnya, sistem aparatus penjara selama ini cenderung “memelihara” mental jahat ketimbang menghilangkannya. Oknum- oknum di nyaris semua lembaga hukum— sipir, pengawas, polisi, penyidik, jaksa, hakim, hakim agung—adalah aparatus pendorong tindak kejahatan (korupsi). Bukankah—selain menegakkan hukum dan mencari kebenaran—fungsi lembaga hukum adalah juga menciptakan kepatuhan, disiplin, dan ketertiban publik? Ketika norma hukum tak mampu mengubah pikiran jahat, lembaga pengadilan tak dapat menghasilkan kebenaran, penjara tak kuasa menghasilkan “efek jera”, artinya hukum tak memiliki “efek” apa pun. Hukuman, pelatihan, koreksi, pendidikan nyatanya tak mampu menghasilkan “tubuh yang patuh” (docile body) karena aparat yang menghukum dan terhukum sama jahatnya (Foucault, 1977).
Bangsa ini tengah menghadapi kerusakan parah “aparatus hukum”, yang mengancam arsitektur hukum demokratis dan Rechsstaat. Rezim demokrasi diisi aparat korup, yang bekerja di dalam aparatus-aparatus yang rusak sehingga nyaris tak mungkin menghasilkan keputusan adil dan benar jika tak ada reformasi total hukum. Aparatus hukum (seperti MK) yang mestinya menguatkan dan memberdayakan justru melemahkan dan melumpuhkan kekuatan dan otoritas hukum. Aparatus hukum beserta simbol-simbol negara yang sakral—yang meliputi UU, aturan hukum, gedung pengadilan, jaksa, hakim, hakim agung, penjara, seragam jaksa, toga hakim, meja pengadilan—kini kehilangan kekuatan sakralnya akibat ulah aparat hukum itu sendiri. Mereka mendegradasi simbol-simbol negara sampai titik nadir terendah karena alih-alih menampilkan wibawa dan kemuliaan hukum melalui keputusan adil, mereka justru memberikan teladan tindak kejahatan.
Ketika tindak korupsi merata di hampir semua lembaga hukum, ketika aparatus hukum dirusak aparatnya sendiri, ketika “rezim kebenaran” dibangun oleh parasit-parasit ganas, ketika hukum tak memberi efek apa pun bagi anak bangsa, kita sampai pada satu titik “anomi total”: norma hukum ada, tapi tak bekerja; aparat hukum ada, tapi para penjahat; aparatus hukum ada, tapi dirusak aparatnya, rezim kebenaran ada, tapi dipenuhi para parasit hukum. Jangan-jangan, parasitisme adalah model kebenaran kita.
Oleh: Yasraf Amir Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Sumber: KompasCetak Oktober 2013