Opini | Lagaligopos.com – Carut-marut pelaksanaan Ujian Nasional (UN) telah berlalu. Kita semua tahu belaka, dalam lima tahun terakhir situasi ini telah menjadi rutin. Tiap UN dilaksanakan, tiap kali itu pula kericuhan dituai. Entah tahun ini puncaknya atau bukan, toh masih ada tahun depan. Melihat gelagatnya, pemerintah akan tetap ngotot melaksanakan hajatan tersebut. Seperti keledai, ia suka menikmati ketreprosokan ke lumpur yang sama. Dan kita melihatnya sebagai kebebalan tiada tara.
Pendidikan Kuasa
Pendidikan sesungguhnya bukan soal yang tidak perlu rumit, jika kita melihatnya sebagai proses berbudaya. Inti proses berbudaya adalah kepercayaan berbagai pihak untuk hadirnya kebebasan dalam mengelola nilai yang disepakati bersama. Dalam kebebasan itu seluruh pihak dapat berdialog, bahkan berdebat yang memungkinkan berkembangnya secara terus-menerus nilai yang disepakati tadi. Dengan kata lain, nilai disepakati dalam dialektika, bukan sesuatu yang mati, apalagi dimatikan. Dialektika dibangun sekaligus diikat oleh kepentingan bersama, yakni oleh masa depan bangsa yang diandaikan ada pada pundak para peserta didik, sebuah generasi yang harus muncul dan tumbuh produktif pada dua atau tiga dasawarsa di depan.
Pemerintah sendiri harus menjadi pasak bagi tegaknya kepercayaan dan dialektika tersebut. Sebagai pasak, ia harus meniscayakan tumbuh dan berkembangnya berbagai pemikiran kritis, menjadi semesta bagi hidupnya berbagai gagasan apapun tentang kependidikan. Departemen pendidikan harus menjadi rumah yang memberi rasa aman sekaligus menyenangkan bagi para aktivis dan hamba-hamba pendidikan. Pendidikan tidak akan pernah bisa berlangsung dengan baik tanpa kegembiraan sedemikian.
Di samping itu, pemerintah tidak boleh terlalu jauh masuk pada urusan substansi. Ia tidak boleh hadir pada masalah macam UN dan kurikulum. Sekali-kali pemerintah turut campur, sebagaimana terjadi sekarang, muatan politik dan kuasanya menjadi sangat dominan. Lihatlah kasus UN dan Kurikulum 2013, tampak jelas tidak ada dialog di situ. Kemendikbud cenderung hanya menggunakana “fasilitas kuasanya”. Pihak-pihak yang kritis, yang secara objektif bisa diuji kesahihan argumentasinya, dianggap sebagai musuh yang harus ditumpas.
Dalam kasus kurikulum 2013, misalnya, para pengkritik kurikulum disebut sebagai anti perubahan, orang iseng, tidak memahami permasalahan, bukan pemain inti, dan lain-lain. Kurikulum kemudian menjadi soal politik. Kemendikbud menjadi sibuk mencari dukungan politik ke berbagai partai politik. Pun demikian pada kasus UN. Meskipun kesalahannya telak, pemerintah tetap saja memasang muka bebal kuasanya.
Karena hal itu, pendidikan di negeri ini berlangsung tanpa nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Sekolah menjelma sebuah institusi bagi bermuaranya kepongahan sekaligus kebebalan kuasa. Siswa berada di ujung persoalan, sebagai pihak yang selalu dijadikan alibi: bahwa generasi mendatang harus diselamatkan. Omong kosong! Sedangkan guru didesak ke posisi dilematis: di satu sisi ia dituntut kreatif dan memiliki kemampuan mumpuni, tapi pada sisi yang lain dibebani berbagai aturan yang membelenggu. Bahkan haknya untuk menentukan kelulusan siswa pun digerus UN hingga 60%.
Akibatnya, beranalogi pada Louis Althusser (1984), sekolah tidak lagi bisa disebut sebagai Ideological State Apparatuses (ISA) yang menanamkan nilai secara ideologis persuasif. Sekolah justru menjadi Refressive State Apparatuses (RSA), yang melesakkan nilai secara refresif hingga bawah sadar siswa, juga guru. Maka tidak ada lagi proses berbudaya dalam pendidikan; yang terjadi adalah kamuflase kuasa. Dalam situasi seperti ini, konsep dan tindak yang berhubungan dengan kreativitas siswa tidak lahir dan tumbuh dari dan untuk kehidupan siswa itu sendiri, melainkan sesuatu yang dibayangkan oleh kekuasaan. Periksa soal-soal pilihan dalam UN, misalnya. Jenis soal ini mengkamuflase kebebasan dan kreativitas siswa. Di dalam jenis soal pilihan ini sesungguhnya tidak ada pilihan sebab siswa tidak bisa memilih selain materi pilihan yang diberikan kepadanya. Inilah jalan melingkar kepongahan kuasa.
Dewan Pendidikan
Agar situasi demikian tidak terus-menerus berlangsung, ranah substansial pendidikan harus diberikan kepada pihak yang indipenden semacam Dewan Pendidikan, yang secara administratif saja bertanggungjawab kepada kemendikbud. Di dalam dewan yang indipendenlah penggodokan segala materi dan substansi pendidikan dapat berlangsung dengan fokus, kritis, dan demokratis.
Pemerintah sendiri sebaiknya mengurus bidang-bidang penting lain yang sejauh ini tetap terbengkalai. Infrastruktur, fasilitas belajar-mengajar, peningkatan kualitas guru, dan kesejahteraan guru adalah beberapa contoh yang masih jauh berada di bawah anggaran pendidikan yang katanya 20% dari APBN itu. Ingat, untuk peningkatan kualitas guru harus dilakukan secara kontinyu, tidak cukup dengan hanya melatih guru 5 hari ketika kurikulum akan diubah. Program ini juga tidak tepat diidentikan dengan peningkatan kesejahteraan seperti terjadi pada sertifikasi guru. Pengiming-imingan uang pada sertifikasi adalah penghinaan terhadap kemanusiaan. Mentalitas guru dibetot ke struktur paling luar duniawi. Ini contoh yang sangat buruk dalam dunia pendidikan.
Untuk mencapai hal itu, mula-mula dibutuhkan seorang pemimpin, dalam hal ini menteri, yang memahami betul situasi dan kondisi persekolahan kita. Dan menteri yang memahami hal ini hanyalah ia yang memiliki kemampuan, ketahanan, dan keberanian untuk “turun blusukan” ke dalam gelanggang persoalan. Secara teknis—maaf bukan teknis penyebaran soal UN—, Sang Menteri juga harus kerap mengunjungi sekolah-sekolah—yang bisa juga dihimpun menjadi wilayah atau gugus—yang tersebar di seluruh pulau. Menteri yang hanya bekerja mengandalkan struktur birokrasi yang mapan seperti sekarang ini dijamin tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan. Hari ini kita butuh pemimpin yang berani menerobos struktur, berpikir dan bekerja keluar dari frame (out of the box). Menteri yang seperti inilah yang akan mengerti geopolitik sekaligus “geokultur”. Dan dengan itu, menteri seperti ini pula yang akan mampu menciptakan pendidikan sebagai proses berbudaya! ***
Oleh: Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB Sumber: acepiwansaidi.com