Lagaligopos.com – Dunia politik kita tampaknya semakin gelap, awan hitam legam menyelimuti sebuah realitas inspirasi publik, peran wakil rakyat kian tak terasa, retorika politik para elit tidak lagi tulus, jujur, dan tidak lagi dilandasi oleh niat politik yang berkiblat kepada kepentingan rakyat.
Tujuh tahun sudah lamanya Pemekaran Luwu Tengah diperjuangkan, namun impian terbesar masyarakat Walmas itu semakin kabur. Impian pembentukan Provinsi Luwu Raya pun semakin pupus. Calon Kabupaten Luwu Tengah yang diharapkan menggenapi syarat itu tidak disahkan oleh DPR RI dalam sidang paripurna beberapa waktu lalu.
Masih ingatkah kita beberapa bulan lalu, ketika beberapa caleg pusat turun melakukan reses ke Luwu Raya? Mereka mengatakan bahwa Luteng akan segerah terbentuk, namun faktanya itu semua hanya “bahasa”, lagi-lagi rakyat binasa dilumat kata-kata.
Ini adalah proses pemekaran terlama, dan teraneh yang pernah ada. Kita patut curiga, jangan-jangan yang mereka perjuangkan itu bukan rakyat, melaikan hanya kata “Rakyat”?
Kata Yasraf Amir Piliang (2011), Betapa mahal dan langkanya ‘jujur’ dan ‘kejujuran’ kini. Para politisi penipu dan koruptor berebut ‘citra jujur’, tapi, orang jujur justeru dimaki, difitnah dan diusir. Pendidikan justeru mengajarkan metode efektif untuk ‘tak-jujur’. Dakwah agama di tv menggiring orang tak jujur pada diri sendiri. Politik dipenuhi orang ‘pura-pura jujur’.
Pembicaraan manis tentang Luwu Tengah masih banyak lagi yang tidak disebutkan disini, pembicaraan manis ini dilontarkan secara priodik guna meredam tegangan inspirasi. Saat inspirasi menyala, datanglah politisi menyiramnya dengan kata-kata, begitu terus berulang-ulang.
Luwu Tengah Hanya Ada Dialam Bahasa
Kata Umberto Eco (1973), “Semiotika adalah alat yang digunakan untuk berbohong, sekaligus bisa digunakan untuk mengungkapkan kebenaran”. Semiotika secara sederhana adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda adalah gejala luar (kulit masalah) dari sebuah fenomena (inti masalah). Tanda adalah segala sesuatu (termasuk teks, bahasa, atau kata-kata) dan penggunaannya didalam masyarakat.
Terdapat hubungan yang bersipat struktural dan hegemonis antara keberadaan sebuah bahasa dan realitas sosial masyarakat. Misalnya, statemen seorang tokoh politik akan membentuk sebuah realitas politik. Statemen tentang Luwu Tengah dari seorang politisi akan membawa gambaran publik tentang Luwu Tengah bersumbu dari asumsi politisi itu sendiri.
Dalam semiotika politik, bahasa adalah senjata paling cangih yang digunakan oleh para politisi untuk mereduksi atau mengaburkan sebuah realitas. Didalam bahasa, terdapat banyak elemen-elemen linguistik yang bekerja dengan mekanismenya sendiri, sehingga pandangan seseorang tentang sebuah realitas (Luwu Tengah) sangat dipengaruhi oleh bagaimana realitas itu ditampilkan.
Kita melihat, berbagai jawaban yang bertolak belakang satu sama lain dari para Politisi tentang gagalnya pemekaran Luwu Tengah memberikan kita petunjuk semiotika bahwa masalah sebenarnya ada pada politisi itu sendiri.
Cara para politisi kita memperjuangkan Luwu Tengah sesungguhnya dapat dilihat dari cara mereka membingkainya melalui bahasa-bahasa yang mereka ucapkan.
Legislator Pusat menuduh gagalnya pembentukan Luwu Tengah karena legislator di daerah yang tidak becus, begitu pun sebaliknya. Disinilah terjadi sirkus (permainan) bahasa. Jawaban-jawaban itu membentangkan sebuah realitas sekaligus menyembunyikan realitas lain.
Mereka menampilkan beragam jawaban sebenarnya untuk menyakinkan publik bahwa mereka telah berjuang, namun sekaligus itu menyiratkan pembelaan diri agar tidak dituduh melalaikan amanat publik.
Ada juga jawaban lain yang terkesan sangat formal. “Masalah Luwu Tengah telah kami selesaikan di Tingkat DPRD Provinsi tahun 2012 lalu, juga ada jawaban, “Kami di Pusat sudah mengurusnya dengan maksimal, Luwu Tengah gagal karena tidak di kawal oleh orang-orang daerah”.
Kedua jawaban tersebut sangat institusional, membuang jauh-jauh aspek moral dan yang mencerminkan tanggungjawab dan ketulusan untuk mengurus Luwu Tengah. Jawaban itu memberikan kita petunjuk semiotika bahwa politisi kita telah menjahati inspirasi (inspiration crime).
Ironisnya, masyarakat kita yang kebanyakan awam akan dengan mudah kembali mempercayai kata-kata clise tersebut.
Pura-Pura Berjuang
Para Politisi kita tampil menampakkan dirinya seakan-akan mereka memperjuangkan Luwu Tengah dengah gigih dan sungguh-sungguh. Melalui bahasa, mereka menampilkan keterlibatan mereka, peran mereka, pendapat mereka, pengorbanan mereka, dan keseriusan mereka. Padahal itu semua hanyalah pura-pura terlibat, pura-pura berperan, pura-pura berkonstribusi, pura-pura serius, dan pura-pura berkorban.
Selama bertahun-tahun Luwu Tengah telah direkayasa dengan tujuan bukan untuk di perjuangkan, melainkan untuk menampilkan citra bahwa itu diperjuangkan, yaitu memperjuangkan Luwu Tengah dalam bahasa, dalam versi mereka.
“Lihat donk saya berjuang bolak-balik jakarta mengurus ini itu, lihat donk kami sudah desak gubernur untuk mengeluarkan rekomendasi, Lihat donk kami di Pusat sudah berjuang maksimal, dan seterusnya”.
Memang, Luwu Tengah tampak seperti diperjuangkan dengan memperlihatkan dan menyerahkan surat rekomendasi, melakukan penelitian, pendataan dan kunjungan-kunjungan langsung ke lokasi. Akan tetapi, semua itu belum tentu didasari dengan motivasi perjuangan, bukankah hal-hal itu semua hanyalah bumbu dalam penomena pemekaran daerah di Indonesia.
Para politisi kita memperlakukan masyarakat Luwu Tengah hanya sebagai angka-angka, populasi, dan tubuh politik tak bernama. Mereka adalah surplus sosial. Masyarakat Luwu Tengah selama ini tak lain hanyalah kekuatan tanpa eksistensi, yaitu eksistensi suplemen dari mereka yang dihitung tetapi tak masuk hitungan, yang dibagi tetapi tak punya bagian, yang punya hak suara tetapi tak dapat bersuara.
Di sini, Nietzche benar ketika ia mengatakan bahwa sesungguhnya manusia lebih banyak berpura-pura dalam menegakkan keadilan, kebenaran, dan kemanusian, sebab di balik semua tindakannya yang tampak suci dan adil itu, yang ada hanyalah kehendak kuasa.
Oleh: Rival Pasau, Ketua Umum PP-PEMILAR