OPINI

E-Panrita Center: Sarana Penguasa Menyelundupkan Hegemoni

OPINI | LAGALIGOPOS.COM – Kemarin, Wakil Persiden Jusuf Kalla meresmikan e-Panrita Center di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan. Lalu, Apa itu E-Panrita?

Dari penjelasan yang tersebar di jagat maya, E-Panrita Center merupakan sebuah sistem dan aplikasi pendidikan daring terintegrasi yang dikembangkan untuk menunjang pembelajaran dan pola pengajaran antara guru dan murid di Sulsel.

Beberapa fitur disematkan di aplikasi ini, antara lain fitur absensi daring, pembelajaran (e-learning), video conference, pengelolaan data kependidikan, e-budgeting, entertainment dan CCTV sekolah.

Selain itu, katanya, e-Panrita juga bisa mendeteksi guru yang meninggalkan sekolah saat jam pelajaran.

Sepintas, tampaknya E-Panrita adalah aplikasi yang sangat baik. Karena, sejak perencanaan hingga peluncurannya, belum ada satupun kritikus pendidikan di Sulsel mempersoalkan hal itu.

Keluhan memang banyak, terutama dari guru-guru pemalas. Tapi itu semua hanya keluhan. Yang kita tunggu adalah refleksi kritis terhadap aplikasi itu.

Total Kontrol

Saya tidak akan membahas manfaat dari aplikasi pendidikan itu. Hal yang mendasar untuk ditinjau adalah semangat atau motivasi yang mendasarinya. Dibalik semua manfaat yang biberikan oleh aplikasi itu, tampaknya ada sesuatu yang mengerikan, yaitu “KONTROL”.

Kontrol adalah musuh besar demokrasi, juga musuh besar pendidikan, dan juga musuh besar kreatifitas. Dalam iklim pendidikan yang berada dibawah kontrol, kreatifitas terpasung. Model pengelolaan pendidikan seperti itu justru membangun ”kuburan kreatifitas”.

Dalam teori konflik, tampak bahwa peran sekolah disadari atau tidak juga melegitimasi dominasi elite sosial, bahkan sekolah merupakan bagian dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial tertentu.

Pada titik ini Pendidikan menjadi sarana penguasa menyelundupkan hegemoninya. Mungkin dari sini dapat dipahami mengapa kelompok masyarakat ekonomi menegah kebawah adalah pihak yang paling susah mengikuti irama pendidikan.

Untuk masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, pendidikan merupakan salah satu jalan paling memungkinkan untuk keluar dari kemiskinan. Dengan pendidikan, anak dapat memiliki cukup pengetahuan untuk beradaptasi pada sistem mapan yang sedang berkuasa lantas menanggalkan status kemiskinannya.

Disini kita bisa lihat bagaimana pendidikan menjadi sebuah bentuk implementasi kekuasaan dan dominasi paling halus yang tak  kita sadari dalam kehibupan sehari-hari.

Foucault, seorang filusuf Prancis dalam karyanya Discipline and Punish (1975) mengatakan bahwa pendidikan adalah penindasan. Dalam sistem pendidikan, ia melihat berjalannya mekanisme pendisiplinan tubuh. Menurutnya, kuasa displin (disciplinary power) adalah teknologi yang dijalankan guna menjaga seseorang dalam pengawasan, bagaimana mengontrol tingkah laku, tindak-tanduk, bakat, ketangkasan, bahkan kecerdasan.

Inti dari pendidikan bukan absensi daring, pembelajaran (e-learning), video conference, pengelolaan data kependidikan, e-budgeting, entertainment dan CCTV sekolah. Semua aplikasi itu mereduksi makna dan praktik pendidikan ke wilayah formal legalistik. Pendidikan tereduksi menjadi perkara administrasi.

Mestinya, dunia pendidikan adalah pencipta peluang bagi pembudayaan individu agar kapasitasnya berkembang, demikian kata pakar-pakar seperti Bertrand Russell, Paulo Freire, Ivan Illich, Montessori, Neil Postman, Ki Hadjar Dewantara, Moch Sjafei, dan Dewi Sartika. Mereka berbicara tentang pendidikan dari kacamata yang berbeda dan luas, terutama berkaitan dengan pemerdekaan dan pembebasan.

John S Brubacher dalam Modern Philosophies of Education (1978) menjelaskan, ”pendidikan demokratis” sebagai pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia (dignity); individualitas dan kebebasan (akademis); perbedaan dan keanekaragaman; persamaan hak (equalitarianism), di mana model pendidikan harus ”disesuaikan” dengan aneka perbedaan (kebutuhan, kecerdasan, kemampuan); dan ”keberbagian” (sharing), di mana yang berbeda-beda itu (differences) harus diberi tempat, tetapi semua yang berbeda dapat berbagi untuk prinsip-prinsip umum.

Tampaknya, pemerintah kita salah paham tentang apa itu pendidikan modern. Model pendidikan yang menggunakan Aplikasi tak lantas bisa dikatakan modern. Justru dengan penggunan aplikasi pendidikan menjadi sangat taktis dan normatif. Pendidikan menjadi alat aneka represi, pemaksaan, dan penyeragaman.

E-Panrita bukanlah kebutuhan mendesak pendidikan. Masi banyak hal yang lebih penting dibenahi, seperti kejujuran, keadilan, kebebasan, kreatifitas, dan inovasi, yang nyaris terhapus dalam dunia pendidikan kita.

Oleh: Rima, Wartawan Lagaligopos

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top