EDITORIAL | Kaget politik. Begitu kira kira yang terjadi jelang Pilgub Sulsel 2018. Nurdin Abdullah secara mengejutkan merekatkan dua poros besar politik nasional, PDIP dan Gerindra.
Saat itu publik dibuat percaya dengan adagium populer ini, “tiada musuh atau teman yang abadi dalam politik kecuali kepentingan”.
Tapi saat ini, tampaknya “ayat” politik di atas perlu ditinjau ulang karena kepentingan apa yang bisa menyatukan PDIP dan Gerindra di Pilgub Sulsel?
Pilkada Serentak 2018 dan Pemilihan Legislatif 2019 adalah pengantar menuju Pilpres 2019. Berangkat dari asumsi ini, jelas bahwa kepentingan politik PDIP dan Gerindra tak mungkin searah.
Baca: Pilgub Sulsel Rasa Pilpres
Jauh-jauh hari, Nurdin Abdullah sudah masuk kedalam lingkaran politik Istana. Ini terlihat dari persiapan panjang dan matang. Berkali-kali bupati Bantaeng dua periode itu tampil terpoles di berbagai acara televisi nasional. Bersamaan dengan itu, bermunculan hasil survei yang menempatkan Nurdin sebagai kandidat peraih popularitas dan elektabilitas tertinggi.
Baca: Jokowi Unggah Foto Bersama Nurdin Abdullah di Twitter
Tak dipungkiri, polesan politik itu berjalan sesuai rencana. Namun menjelang awal tahun 2017, musim pancaroba politik mulai menerjang. Elektabilitas politik yang signifikan tidak lagi ada dalam genggaman seiring munculnya figur-figur lain.
Dalam kondisi seperti itu, PDIP yang hanya bermodalkan 5 kursi di DPRD Sulsel dengan percaya diri mengumumkan Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman sebagai kandidat usungan. Menurut sejumlah pengamat, ini merupakan langkah taktis partai penguasa menahan penyusutan elektabilitas sang Professor.
Tapi justru pada titik ini, seteru politik PDIP secara tidak terduga ikut mengeluarkan rekomendasi mengusung Nurdin. Tanpa banyak ribut-ribut, PDIP, Gerindra, PAN, dan PKS berada dalam satu barisan.
Baca: Jelang Pilkada Serentak, Gerindra, PKS, dan PAN Koalisi di 5 Provinsi
Namun, menjelang pendaftaran ke KPU, riak-riak perpecahan beraroma Pilpres mulai mengemuka. Ketiga partai oposisi ini dicurigai akan menarik dukungan. Indikasinya, Wakil Ketua Umum Dewan Pegurus Pusar Gerindra, Arif Puyuono dengan tegas mengatakan bawah Nurdin Abdullah bukan siapa-siapa dimata Gerindra.
“Nurdin Abdullah bukan sosok yang hebat di Sulawesi Selatan. Ini juga yang menjadi pertimbangan kami untuk melakukan perubahan,” tegas Arief saat menjadi narasumber dialog “Adu Strategi Parpol Jelang Tahun Politik” di Kompas TV, Selasa (26/12/2017).
Jika benar, partai oposisi ini manarik dukungan dari Nurdin Abdullah, bisa dipastikan pria bergelar Professor itu akan meniti jalan sunyi politik. Duta istana ini tak masuk arena Pilgub Sulsel.
Baca: Gerindra Tidak Akan Usung Nurdin Abdulah
Melihat situasi ini, PDIP sebagai sandaran terakhir tak mungkin tinggal diam. Jurus ampuh yang paling cepat adalah menarik sebagian partai koalisi pendukung pemerintah yang menumpuk ditangan Nurdin Halid.
Jurus politik ini memang akan gaduh. Tapi demi memulihkan kehormatan politik Istana, mau tak mau, taktik ini harus ditempuh.
Pada level elit partai koalisi pendukung pemerintah, ini hal yang mudah. Nasdem, Hanura, bahkan Golkar bisa dengan cepat dialihkan mendukung Nurdin Abdullah. Dan ini tentu pukulan telak untuk Nurdin Halid.
Pada situasi ini, kita perlu bernostalgia ke masa dimana Ichsan Yasin Limpo mengucapkan firasat politiknya bahwa dia hanya akan head to head dengan Nurdin Abdullah.
Baca: Firasat IYL: Saya akan Head to Head dengan Nurdin Abdullah
Lalu kemana dukungan partai koalisi oposisi? Hingga saat ini, Wakil Gubernur Sulsel dua periode, Agus Arifin Nu’mang disebut-sebut bakal mendapat kepercayaan dari Prabowo mengemban misi ini.
Baca: Pendamping Baru, Agus Merawat Asa Maju Pilgub Sulsel
Namun, memilih Agus tak semanis memilih anggur. Fakta politik dari berbagai hasil survei menunjukkan Agus berada pada titik elektabilitas yang paling rendah.
“Dia sepuluh tahun berkuasa, tapi dia juga sepuluh tahun dalam bayang-bayang Syahrul Yasin Limpo,” kata pengamat politik IAIN Palopo, Muhammad Aswan.
Ini juga situasi yang sulit untuk partai koalisi oposisi. Karena mendukung Ichsan Yasin Limpo juga tak bisa melegitimasi kepentingan Pileg dan Pilpres 2019.
“Jika lulus dari jalur perseorangan, Ichsan tidak akan meresa terbebani lagi utang budi kepada partai politik. Kecuali ada kepentingan lain, misalnya memasang bargaining untuk kakaknya masuk kedalam jajaran menteri Presiden terpilih nanti,” papar Aswan.
Akhirnya, polarisasi nasional kedua kubuh jelang Pilkada Serentak 2018 mengacak-acak stabilitas dukungan partai politik di Sulsel. Kondisi ini juga membuat figur-figur lokal yang kita anggap sebagai “dalang” politik kini hanya sekedar wayang kecil.
Duta Pilpres di Pilgub Sulsel memang sepenuhnya berada dalam kendali Istana dan Hambalang.
Penulis: Hajar Alfarisi, Penggiat Literasi