OPINI

Menara Payung Dan Imajinasi Pembangunan

Zulfikar, Penggiat Palopo Urban Forum

OPINI – Peletakan batu pertama oleh Gubernur Sulawesi Selatan saat itu Syahrul Yasin Limpo pada Kamis 2 Juli 2014 silam menandai keseriusan pengerjaan mega proyek Menara Payung oleh Wali Kota Palopo, Judas Amir. Namun karena anggaran besar itu tidak tersedia, mega proyek itu tak bisa dilanjutkan di periodenya kala itu.

Empat tahun berselang ambisi itu coba ia hadirkan lagi.

Pada Minggu 3 November 2019, di lantai 3 Ruang Rapat Kantor Walikota Palopo, ruangan dipenuhi peserta undangan diskusi Rencana Pembangunan Menara Payung. Menara setinggi 99 meter dengan tambahan bentuk menyerupai payung di puncaknya akan berdiri gagah di kawasan kuliner dan kebudayaan. Sayangnya diskusi yang dihadiri perwakilan arsitek, OPD, dan juga masyarakat sipil pemerhati kota tidak berlangsung dialektis.

Baca Juga: Akbar Faizar; Apa Hubungannya Menara Payung dengan Kesejahteraan Masyarakat Kota Palopo?

Feasebility studies (FS) atau hasil studi kelayakan yang mestinya menjadi pokok bahasan utama, tidak dipaparkan karena tidak adanya konsultan yang akan menjalankan proyek tersebut. Hanya ada sesi sharing antara peserta yang langsung ditanggapi oleh Wali kota yang menjawab seadanya. Ia hanya menunjuk buku setebal 50 cm yang diakui sebagai FS sebagai pedoman pembangunan.

Untungnya setelah memasuki istitahat FS dalam format Pdf didapatkan peserta dari Asisten II. Dengan judul Proyek Menara, Pusat Kuliner dan Souvenir. Menara itu akan menempati kawasan ex-pasar lama yang sudah tidak difungsikan lagi sejak dipindahkan ke jalan Andi Tadda.

Menara Payung: Menara Utang

Pendirian menara payung sebagai ikon baru Kota Palopo menjadi highlight dari rancangan kawasan kuliner ini. Hal ini didukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palopo Tahun 2018–2023 dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 110 miliar.

Sayangnya, dari survey yang dilakukan oleh konsultan perencanaan, hanya 16,9% responden yang memilih jenis desain bangunan ikonik dengan ketinggian diatas rata-rata. Sementara hasil tertinggi dengan 50,7% yang memilih monumen budaya. Meskipun begitu, rancangan alternatif desain tidak  mengindahkan hasil survey yang dilakukan.

Merujuk pada salah satu opsi Rencana Anggaran Biaya (RAB) pembangunan dan operasional dalam FS yang dibagikan. Di mana mekanisme penganggaran pembangunannya dilakukan dengan loan atau berhutang, karena dana APBD yang tidak cukup untuk mendanai pembangunannya. Alhasil Pemerintah Kota Palopo memilih jalan dengan mengambil pinjaman ke Pemerintah Pusat untuk menjalankan proyek ini. Tetapi mesti diingat, dalam asas pembangunan berkelanjutan, daerah melakukan pinjaman ke sebuah sumber tidak serta-merta hanya sekedar meminjam, melainkan karena sebuah tujuan strategis.

Baca Juga: Banjir Palopo Jadi Trending Topik Dunia

Pertanyaannya apakah pembangunan menara payung ini termasuk dalam tujuan strategis yang seyogyanya mengedepankan kepentingan publik seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan? Tentu tidak. Pembangunan menara hanya akan menjadi beban anggaran yang harus dibayar secara berkelanjutan.

Tidak hanya pada di periode Judas Amir tapi para wali kota selanjutnya sampai di tahun 2040. Sementara masih ada sektor lain yang lebih strategis dan urgent untuk dilaksanakan seperti infrastruktur pertanian yang merupakan sektor berkontribusi terbesar kedua pada APBD Kota Palopo, namun terus menurun dari tahun ke tahun. Belum lagi persoalan sanitasi dan air bersih. Data terakhir dari dokumen RPJMD, masih terdapat sekitar 10% masyarakat Kota Palopo yang belum terakses air bersih atau sekitar 17 ribu orang.

Analisis Ekonomi dan Finansial yang Rancu

Argumen politis mengungkapkan bahwa pembangunan kawasan ini akan membuka lapangan pekerjaan dibidang perhotelan, restoran dan industri rumah tangga. Asumsi inilah yang menjadi dasar bahwa pembangunan menara ini layak secara ekonomi.

Tetapi tidak ada data atau analisis yang menyebutkan seberapa besar kontribusi pembangunan menara terhadap pertumbuhan PDRB Kota Palopo, dan dasar asumsi apa yang digunakan pada proses proyeksi pendapatan. Yang ada hanya asumsi untuk memperkuat justifikasi pembukan lapangan pekerjaan.

Mirisnya, pada analisis finansial yang ditampilkan juga membingungkan, indikator kelayakan ekonomi seperti tingkat imbal hasil keuangan, rasio cakupan pembayaran utang, besaran imbal hasil ekuitas, metode pengembalian investasi dan proyeksi arus kas laba rugi yang ternyata memiliki data pemenuhan yang masih kosong.

Bagaimana kita bisa mengambil keputusan apabila rencana jangka panjangnya ternyata hanya data kosong? Belum lagi tabel review yang ditampilkan dalam tabel tersebut juga tidak dijelaskan dasar asumsi yang digunakan, seperti asumsi peningkatan jumlah pengunjung, kenaikan harga tiket masuk, peningkatan jumlah penyewa gedung, ruang pameran, pelataran dan lain-lain.

Dengan kata lain, kesimpulan review keuangan yang ditampilkan sendiri tidak komprehensif sehingga menimbulkan tanda tanya besar, apakah pembangunan menara dan kawasan kuliner memang benar-benar layak.

Potensi Peninjauan Konsep

Kita semua harus mengapresiasi niat Pemerintah Kota Palopo untuk membangun ikon baru di Kota Palopo. Namun sebaiknya pemerintah memikirkan kembali alternatif konsep pengembangan Kawasan Lalebbata dengan biaya pembangunan yang lebih murah dan tanpa harus melakukan pinjaman yang begitu besar serta dapat dijangkau oleh masyarakat luas pada tahapan operasionalnya. Dengan melakukan kajian yang lebih intens, tidak hanya melibatkan konsultan sebagai pelaksana teknisnya tapi juga unsur kedatuan, mengingat kawasan Lalebata termasuk dalam kawasan Heritage dengan bangunan klasik yang indah.

Pembangunan sebagai akumulasi kapital tentunya diperuntukkan untuk kemaslahatan orang banyak. Bukan ambisi monumental dengan paksaan bahkan berujung tirani.

Oleh: Zulfikar, Penggiat Palopo Urban Forum

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top